Jumat, 27 Mei 2011

Dalil bid'ah hasanah bag II

DALIL BIDAH HASANAH II-

(1) Dlm tafsir qurtubi 2/86 dlm penafsiran ayatﺑﺪﻳﻊ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻵﺭﺽ ﻭﺁﺫﺍ ﻗﻀﻲ ﺁﻣﺮﺍ ﻓﺎﻧﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ
:Allah albadi' pencipta
langit dan bumi dan bila ia
berkhendak sesuatu,dia hanya mengatakan kpdanya 'jadilah',lalu jadilah ia (QS ALBAQOROH 117) ,dlm
ayat ini terkandung 6 masalah:
1-perkataan allah ﺑﺪﻳﻊ itu utk mubalagoh dan i'rabnya rofa jadi khobar dari mubtada yg mahduf,dan merupakan isim failnya mubdi' sprt lafad bashiir dari mubshir,maknanya ﺑﺪﻳﻊ dan ﻣﺒﺪﻉ adalah mencipta sesuatu tanpa ada contohnya,mk allah
adalah yg mencipta langit dan bumi tanpa ada contohnya, dan stiap yg membuat dgn tdk ada cntoh tesdahulu disebut
mubdi' (ﻣﺒﺪﻉ) dan dinamai dgn bid'ah krna org tersebut meNcipta dgn tdk ada cntoh perbuatan atau ucpan yg terdahulu,seperti kalimah dalam ucapan umar RA ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﻪ ﻫﺬﻩ; sebaik2nya bidah adalah ini
yakni qiyam romadon.
2-setiap bidah yg dilakukan umat manusia mk tdk lepas antara 2 hal:
a.bersumber dari syara,
b.tdk bersumber dari syara
kalau bidah trsbt bersumber dari keumuman
yg di anjurkan allah dan
dianjurkan oleh rasul SAW,mk itu bidah terpuji,wlopun tdk ada contoh sblmnya sperti perbuatan
kebaikan dan sodaqoh YG TDK ADA CONTOH SEBELUMNYA, ini sprti apa
yg di ucapkan oleh Umar
RA:sebaik2nya bid'ah adalah ini- yakni wlopun NABI SAW tdk melakukan taraweh scra rutin dan tidak berjamaah dgn 1 imam
tapi taraweh tsbt pernah
dilakukan NABI SAW..mk prakarsa UMAR RA tsbt adalah bidah yg terpuji.
Dan jika bidah trsbt bertentangan dgn apa yg diperintahkan ALLAH dan dianjurkan RASUL SAW mk hal trsbt masuk pada bidah tercela dan wajib inkar,
Aku Berkata (IMAM qurtubi)
penjelasan tadi adalah makna dari khutbah rasul SAW 'sejelek2nya perkara adalah hal yg diada- adakan,dan stiapa yg diada-adakan (bidah) adalah sesat' maksud setiap bidah sesat
adalah yg tdk selaras dgn kitab atau sunah dan ijma,dan ini dijelaskan pula dlm hadis 'brng siapa membuat amalan dlm islam dgn amalan yg baik,maka baginya pahala dan pahala org2 yg melakukan sesudahnya,dan brng siapa membuat amalan dlm islam
dgn amalan yg jelek,mk bginya dosa dan dosa org yg melakukan sesudahnya dgn tdk mengurangi sdkt pun,ini adalah isyarah bahwa bidah itu ada yg jelek dan ada yg baik (TAFSIR ALQURTUBI 2/86)
NAH JADI BIDAH TERBAGI 2: ADA YG MAHMUDAH DAN MADZMUMAH.

(2) IMAM IBNU HAJAR RA
berkata; bidah asalnya adalah sesuatu hal baru yg tdk ada contoh sebelumnya, dan dikatakan secara syara adalah hal baru yg bertentangan dgn
sunnah,maka diSEBUT BIDAH
MADZMUMAH,DAN HAQIQATNYA ADALAH KALAU BIDAH TERSEBUT MASUK DIBAWAH HAL YG DI ANGGAP
BAIK MENURUT SYARA,MAKA ITU BIDAH HASANAH,DAN JIKA MASUK PADA SESUATU YG DIANGGAP JELEK OLEH SYARA,MAKA ITU BIDAH SAYYIAH, DAN JIKA TIDAK MASUK PADA KEDUANYA MAKA ITU TERMASUK BIDAH YG MUBAH,DAN INTINYA TERBAGI PADA HUKUM FIQH YG LIMA (FaTHUL BARI 6/292)
APAKAH BIDAH DUNIA TDK TERIKAT HUKUM SYARA ???? INGAT IBADAH ADA YG MAHDLOH DAN GOER MAHDLOH

(3)-DLM SYARAH ALMUWATHO
DIKATAKAN:ADAPUN UCAPAN UMAR RA 'INI ADALAH SEBAIK2NYA BID'AH',INI MERUPAKAN PENJELASAN
DARI BELIAU BAHWA BELIAU ADALAH ORANG PERTAMA YG MENGUMPULKAN SOLAT TARAWEH PADA 1 IMAM,DAN
DILAKUKAN SECARA RUTIN DAN TETAP,KARENA SESUNGGUHNYA BIDAH ADALAH SESUATU HAL BARU
YANG SEBELUMNYA TDK PERNAH DILAKUKAN SIAPAPUN,MAKA UMAR RA MEMULAINYA DAN DI IKUTI PARA SAHABAT LAINNYA,INI ADALAH MENYATAKAN SAHNYA UCAPAN BELIAU DAN DIKATAKAN 'SEBAIK2NYA
BIDAH', KARENA DENGAN PRAKARSA TERSEBUT
ADA MASLAHAT (ALMUNTAQO
SYARAH ALMUWATHO 1/264)

(4) IMAM NAWAWI RA BERKATA: ADAPUN HADIS 'WA KULLU BID'ATIN DHOLALAH' INI LAFAD UMUM YANG DI TAKHSIS ADAPUN MAKSUDNYA
ADALAH KEUMUMAN BID'AH.TELAH BERKATA AHLI LUGOT: BIDAH ADALAH SETIAP AMALAN YG TDK ADA CONTOH TERDAHULU,DAN BERKATA
PARA ULAMA:BIDAH TERBAGI KEPADA 5 BAGIAN: WAJIB-SUNAH-HARAM-MAKRUH-MUBAH, CONTOH BIDAH WAJIB ADALAH MENYUSUN DALIL
AKAL YG DILAKUKAN ULAMA
MUTAKALIMIN UNTUK MEMBANTAH TERHADAP KAUM YANG MENYIMPANG DALAM AQIDAH DLL,CONTOH BIDAH SUNAH YAITU MENGARANG
KITAB ILMU,MEMBANGUN
PESANTREN,MADRASAH DLL,CONTOH BIDAH MUBAH ADALAH MEMBUAT ANEKA RAGAM MAKANAN DARI BAHAN YG HALAL DLL, DAN CONTOH
BIDAH YG HARAM DAN MAKRUH DAH JELAS,DAN AKU TELAH
MENJELASKAN MASALAH INI DENGAN DALIL2 YG PANJANG LEBAR DALAM KITAB TAHDZIBUL ASMA WA LUGOT.NAH JIKA DAH TAU APA YG
AKU JELASKAN MAKA DAPAT
DIKETAHUI BAHWA HADIS DIATAS ADALAH HADIS UMUM YG DI TAKHSIS DAN JUGA HADIS2 YG SERUPA DI ATAS.ADAPUN KALIMAH 'KULLU BIDATIN' YG DIKUATKAN DENGAN KATA KULLU,INI
SAMA DGN AYAT TUDAMMIRU KULLA SYAEIN (AL AHQOF 25)..(SYARH SOHEH MUSLIM KARYA IMAM NAWAWI 5/247)

NB:ADA SEBAGIAN ULAMA YG
MENAFIKAN BID'AH HASANAH
SEPERTI IBNU TAEMIYAH ATAU IMAM SYATIBI,IBNU ABDUL WAHAB DAN YANG BELAJAR PADA MEREKA,MAKA KITA TIDAK BOLEH INKAR,KARENA HAQ BELIAU2 ADALAH IJTIHAD DGN KONSEP DAN KAIDAH HUSUS YANG BERBEDA DG ULAMA MUJTAHID LAIN,TETAPI YG TDK MASUK AKAL ADALAH BELIAU2 MENGANGGAP HANYA PENDAPATNYA SAJA YG HAQ
DAN SIAPA YG BERBEDA
DENGANNYA ADALAH SESAT,
DAN YG LEBIH ANEH ADALAH
PARA MUTASIB TERHADAP PENDAPAT MEREKA MENYATAKAN BAHWA TIDAK
LAH MENERIMA BIDAH HASANAH KECUALI AHLI BIDAH DAN HAWANAFSU UNTUK MENYEBARKAN BIDAHNYA',MAKA MEREKA MENYERANG YG BERBEDA DENGANNYA
DENGAN DALIH AMAL MA'RUF NAHI MUNKAR! DAN MEREKA
NENYATAKAN BAHWA PENDAPATNYA ADALAH
SUNNAH. MAKA TINDAKAN MEREKA BUKAN MENOLONG SUNAH,TAPI JUSTRU BIDAH BARU!
KITA TANYA PADA MEREKA JIKA ULAMA2 YANG BERPENDAPAT ADANYA
BIDAH HASANAH DISEBUT AHLUL BIDAH WAL AHWA,TERUS DARI SIAPA KITA MENGAMBIL JALUR AGAMA
INI ???
LEBIH JELAS TENTANG DEFINISI BIDAH YANG BERBEDA ANTARA PARA ULAMA, LIHAT DI ARTIKEL YANG BERJUDUL;
MENGKOMPROMIKAN DEFINISI BID'AH.

Rabu, 25 Mei 2011

Mengabaikan keberadaan majaz dalam memahami Al qur'an

Mengabaikan Keberadaan
Majaz Dalam Memahami Al
Qur’an[1]

Terdapat satu permasalahan,mengabaikan sebagian jenis makna lafadz yang biasa digunakan oleh Bangsa Arab (yaitu makna majaz) dan hanya
mau berpegang kepada sebagian jenis makna yang lain (yaitu makna denotatif/ haqiqoh lughowiyah) dalam memahami Al Qur’an akan menimbulkan dua macam bencana:
1. Mereka terjerumus ke dalam dosa karena tidak memahami Al Qur’an dengan Bahasa Arab,
padahal Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Alasannya karena hanya mau berpegang kepada satu jenis makna yang digunakan oleh orang Arab, seraya enggan menggunakan jenis makna yang lain, sama artinya dengan tidak menggunakan Bahasa Arab dalam memahami Al Qur’an. Yang
demikian itu bertentangan
dengan kenyataan bahwa Al
Qur’an adalah Kitab yang
berbahasa Arab.
2. Mereka terjebak ke dalam kekacauan ketika memahami beberapa ayat Al Qur’an karena tidak mau mengakui sebagian jenis maknanya. Ketika mereka
membaca Firman Allah SWT
Amat besar penyesalanku atas apa yang aku lalaikan dalam pinggang Allah (janbuLlaah). (TQS Az Zumar ayat 56) serta Firman Allah :dan kekallah wajah Tuhanmu (TQS Ar Rahman ayat 27) sementara mereka membatasi diri dalam memahami lafadz janbun (pinggang) dan wajhun (wajah) dengan makna denotatif, maka
pemahaman mereka akan kacau, karenamakna denotatif yang ciptakan oleh Bangsa Arab untuk
lafadz-lafadz tersebut adalah pinggang dan wajah yang telah dikenal. Padahal Allah Maha Suci dari makna hakiki yang dikehendaki oleh Bangsa Arab untuk kedua lafadz tersebut, sebab Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya (TQS Sy Syuro ayat 11). Oleh karena itu, mereka terjatuh dalam kebingungan, kemudian dalam menafsirkannya
mereka berkata jambullaah
adalah pinggang Allah yang tidak seperti pinggang dan
wajhullaah adalah wajah Allah yang tidak seperti wajah.
Penafsiran terhadap lafadz
“janbun” dan “wajhun” yang demikian itu merupakan penafsiran yang tidak mengacu kepada Bahasa Arab. Sebab, mereka tidak menafsirkannya dengan makna hakiki yang
diciptakan oleh Bangsa Arab
untuk lafadz tersebut, mereka juga tidak menafsirkannya dengan makna urfiyah yang dikenal oleh Bangsa Arab untuk
lafadz tersebut, dan mereka juga tidak menafsirkannya dengan majaz atau kinayah yang
biasa digunakan dalam Bahasa Arab. Mereka justru berkata: “pinggang artinya pinggang yang tidak seperti pinggang; dan wajah artinya wajah yang tidak seperti
wajah. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui bahwa lafadz-lafadz dalam ayat tersebut tidak digunakan dengan
makna hakiki sebagaimana yang buat oleh Bangsa Arab. Namun, alih-alih mereka menafsirkannya dengan makna majazi yang biasa
digunakan dalam Bahasa Arab, anda justru melihat bahwa mereka membuat makna baru untuk lafadz-lafadz tersebut yang tidak dikenal dalam Bahasa Arab.
Kata wajah, misalnya,dalam
Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan
“wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,maksudnya adalah dzatnya, secara majaz. Akan tetapi, orang Arab tidak pernah
menggunakan kata wajah dalam arti “wajah, tapi tidak seperti wajah”. Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya seharusnya
ditafsirkan dengan Bahasa Arab.
Seandainya mereka mau
melakukan hal yang demikian itu, serta mau melakukan penelaahan, niscaya mereka akan menjumpai bahwa Bangsa
Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz.
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya. Atas
dasar itu, makna ayat yaa
hasrotanaa alaa maa
farrothnaa fii janbillaahi (Az
Zumar ayat 56), adalah dalam apa yang ada di antara aku dan Allah, apabila aku lekatkan pengabaianku kepada apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan apa yang menjadi laranganNya
untukku. Di antara yang
menggunakan makna ini adalah hadits Rasulullah saw, kullush shoidi fii janbil faroo, atau jaufil faroo setiap buruan ada di pinggang atau di lambung keledai liar maksudnya, setiap binatang buruan itu terkait dengan keledai liar apabila dikiaskan dan didekatkan dengannya.
Begitu juga dengan juga kata“wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok
seseorang demi memuliakannya.
Maka mereka berkata: jaa’a
wajhul qoumi telah datang
wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya) dan kekallah wajah Tuhanmu (tQS Ar Rahman ayat 27) makna wajah
dalam konteksitu artinya adalah Dzaat Allah Ta’ala[2].
Tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk takwil yang jauh dari makna yang
dikehendaki[3]. Tidak bisa
dikatakan demikian karena orang Arab telah menggunakan makna
tersebut dalam pembicaraan mereka. Dengan demikian, Bahasa Arab tidak menolak makna tersebut, karena suatu
kalimat itu mungkin dimaknai secara hakekat dan bisa jadi pula secara majaz. Terlebih lagi, setiap muslim meyakini bahwa
Allah Ta’aalaa Maha Suci dari
“jambun/pinggang” dan
“wajhun/wajah” menurut
makna hakiki yang dibuat oleh Bangsa Arab. Dengan kata lain, di sini penerapan makna hakiki jelas terhalang, oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah makna majazi yang juga digunakan oleh orang Arab, dan ditafsirkan
dengan penafsiran yang sesuai denganNya, sebab Aqidah Islam memastikan bahwa Allah jalla Jalaaluhu tidak memiliki wajah sesuai hakekat lughowiyah seperti wajah kita, dan Dia juga tidak memiliki pinggang menurut hakekat lughowiyah seperti pinggang kita, sebab Allah Maha Suci dari penyerupaan dan permisalan, Allah berfirman
(artinya) Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya (TQS Asy Syuroo ayat 11), maka dalam
kondisi demikian ada dua
kemungkinan:
1. lafadz itu ditafsirkan dengan Bahasa Arab sehingga yang digunakan adalah makna majaz,
sehingga dikatakan bahwa wajah yang dimaksud adalah permisalan yang merujuk kepada Dzat Allah yang Maha Suci.
2. Atau ditafsirkan dengan tidak menggunakan Bahasa Arab, sehingga kita berkata “wajah yang tidak seperti wajah“, seolah-olah orang yang mengatakan demikian itu malu untuk mengatakan “aku tidak tahu” (sebab wajah yang tidak seperti wajah itu secara bahasa
tidak disebut wajah. Dengan
demikian, ayat ini menjadi tidak punya makna yang dapat dipahami dan diamalkan -pent).

Demikianlah, sesungguhnya
orang yang menyatakan bahwa seluruh lafadz yang digunakan oleh bangsa Arab semuanya bermakna hakiki, atau orang yang menetapkan keberadaan
makna majaz di dalam bahasa namun mengingkari
keberadaannya di dalam Al
Qur’an, sehingga ketika
memaknai Al Qur’an, mereka hanya menggunakan satu jenis
makna seraya mengabaikan jenis makna lain yang ada di dalam Bahasa Arab. Itu semua lebih parah dari pelanggaran mereka terhadap nash Al Qur’an (Al Qur’an) ini Bahasa Arab yang nyata (TQS An Nahl), sementara mereka tidak berpegang kepada
Bahasa Arab dalam memahaminya. Saya
mengatakan lebih parah dari itu, karena mereka telah menyibukkan umat islam dalam permasalahan yang membuat mereka terpecah-pecah, sehingga hampir-hampir setiap
kelompok mengkafirkan
kelompok yang lain sedang
mereka tidak sadar. Seandainya mereka memperhatikan aspek-
aspek penunjukkan bahasa,
niscaya perpecahan itu tidak terjadi sehingga mereka tidak saling bermusuhan dan tetap
menyembah Allah sebagai satu saudara[4].

Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan seorang ahli bahasa nomor satu, Ibnu Jinni, yang berkata: jalan untuk
memecahkan masalah itu adalah bahwa sebagian besar dari bahasa ini berjalan dengan makna majaz, sebagian kecil
darinya keluar menuju makna hakiki, sedangkan kaum yang diajak bicara dengan bahasa itu merupakan manusia yang paling mengenal akan keluasan madzhab-madzhabnya dan arah-
arah penyebarannya,
pembicaraan mereka dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi adat dan kebiasaan
dalambahasa itu, dan mereka memahami maksud perkataan orang yang berbicara kepada
mereka dengan bahasa tersebut berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan mereka dalam menggunakannya. Oleh karena itu, mereka memiliki aqidah yang shohih, amal-amal mereka ikhlash untuk Allah, urusan mereka berjalan secara istiqomah, sementara kondisi mereka dalam keadaan yang baik, mereka itu adalah orang-
orang yang hidup pada masa Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam dan para shohabat ridhwanullah alaihim, di atas jalan yang cerah, yang memiliki malam seterang siangnya, tidak
menyimpang darinya keculai orang yang celaka, tidak menjauhinya kecuali orang yang sesat.

[1] Dikutip dan di indonesiakan dari bagian muqodimah kitab AtTaisiir fii Ushuulit Tafsiir karya
Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [translated by
Bengkel Fikrah, 1 Ramadhan 1431 H]
[2] Menurut saya, dalil
menentukan pemilihan makna majaz ini adalah konteks pembicaraan (siyaqul kalam) ayat ini.Ayat ini bukan ingin menjelaskan perihal anggota badan Allah Maha Suci Allah dari yang demikian-. Pada ayat ke-26
Allah berfirman kullu man
‘alaihaa faahin” segala yang ada di atasnya akan binasa, yakni ayatini bicara soal ketidak-kekalan alam dan seluruh makhluq. Lalu Dia berfirman wa yabqoo wajhu Rabbika sementara wajah Tuhanmu kekal. Konteks pembicaraannya
jelas perbandingan antara Allah dan makhluqnya, alam semesta itu fana dan tidak kekal, sedangkan wajah Tuhanmu itu kekal. Jadi topiknya adalah masalah kekekalan Allah dan kefanaan dunia seisinya. Maka, mustahil wajah dimaknai secara harfiyah. Sebab, yang kekal itu bukan hanya “wajah Allah”, tapi
Allah. Jelas bahwa wajah Allah yang dimaksud di sana adalah Allah itu sendiri. Ini pendapat jumhur.
[3] Ini bukan takwil terhadap sifat Allah, melainkan ta’wil terhadap lafadz Al Qur’an sesuai Bahasa Arab. Sebab, kita sudah menetapkan bahwa tema ayat bukan membahas soal “anggota
badan” Allah, melainkan soal sifat kekekalan Dzat Allah yang dikemas oleh Al Qur’an dengan salah satu uslub yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab.
[4] Adalah kelompok Wahhabi, yang menetapkan bahwa Allah punya dua tangan, telapak kaki,punya pinggang, punya wajah,
punya betis, punya jari-jemari tanpa mau memahami konteks
penggunaan kata-kata itu dalam kalimat, seraya mengatakan bahwa “Allah punya dua mata yang tidak seperti mata” dst,.
Mereka menetapkan masalah ini sebagai prinsip dalam aqidah.
kemudian memusuhi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka, tidak mau duduk satu majelis dengan mereka, dan menyebut mereka semua sebagai ahlul ahwaa wal bida’ (ahli
hawa dan bid’ah), tidak mengikuti sunnah dan salaf, sesat, dan perkataan buruk lain. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukan untuk menjelaskan anggota badan Allah (Maha Suci
Allah dari yang demikian), bahkan kita tidak dibebani untuk membahas masalah Dzat Allah, maka seseorang tidak akan masuk neraka semata-mata karena tidak pernah masuk dalam pembahasan perihal tangan Allah, betis Allah, mata
Allah dan sebagainya.

Minggu, 22 Mei 2011

Jika Allah ada tanpa arah & tempat=tidak ada ???

Jika Allah ada tanpa tanpa
tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan
mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata:
Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat
yang sama saja dengan
menafikan wujud Allah.
Cukup untuk membantah
kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda
berbentuk besar. Dan oleh
karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi- Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama
terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat
madzhab. Dan inilah pula
keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah,
di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru,gerak, diam, berkumpul,berpisah, bertempat ,menempel dengan alam,terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al Jawzi al- Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh di sifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu.

Simak tulisan beliau berikut ini: Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan Nya, kita jawab kesesatan ini: Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima.
Jika mereka berkata: Kalian
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!, kita jawab: Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu
adalah adalah sesuatu yang
dapat dikhayalakan dan
digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran
akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran
adalah buah dari penglihatan dan indra. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman
tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah dapat diterima oleh akal.
Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang
logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka
dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya.
Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka
seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah(Lihat al-
Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut: Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat
menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti
membutuhkan kepada tempat.
Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda.
CONTOHNYA seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa BATU itu pintar juga tidak kita katakan bahwa
BATU itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup.
Dan jika sifat hidup itu tidak ada PADA(batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan dari BATU (lihat al- I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada
tulisan pinggir (hâmisy) kitab al- Zawâjir, j. 2, h. 43-44).
DAN ALLAH BUKAN BENDA MAKA TIDAK SAH DIKATAKAN DI DALAM ALAM ATAU DILUAR ALAM.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:
al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah
Muhammad ibn Jalal pernah
ditanya apakah Allah tidak
dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata:
Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan.
Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang
menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian
bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di
luar alam, sebagaimana ia
tuliskan dalam syarh-nya
terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal
menjawab: Akidah yang kita
nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah
maka itu adalah keyakinan yang benar.
Keyakinan ini didasarkan
kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql.

Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika
Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada:
1 di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian
maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah,
berubah dan lainnya)
2 jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
A) bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut
B) bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut.
Dan bila ALLAH terpisah (DILUAR ALAM) maka hal itu
menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan (TEMPAT DAN RUANG LAGI) dalam keadaan tersebut.
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:
Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun
bersama-Nya. (HR al-Bukhari dan lainnya).
Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi- Nya di atas, di bawah, di samping
kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam
makna dari firman Allah QS. asy- Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah
pendapat yang tidak benar.
Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang
berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh SALAH SATU DARI dua
keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan SALAH SATU DARI dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling
bertentangan. CONTOH
bila dikatakan tembok ini tidak buta juga tidak melihat, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan (TIDAK BUTA DAN TIDAK MELIHAT) tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.

Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah
pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa
kelompok kaum sufi gadungan.
Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam sebagai pernyataan yang rancu
dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak
bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini,namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum
teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya (Lihat ad-Durr al- Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah
seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al- Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi,
demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-Allâmah asy-Syaikh al- Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al- Harari menuliskan: Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka
berkata:”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan
alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami.
Kita katakan kepada mereka: Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan
sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada
karena diciptakan oleh Allah,
seperti dalam berfirman-NyA:Dan Dia Allah yang telah
menciptakan segala kegelapan dan cahaya (QS. al-An’am: 1).
Dengan ayat ini kita wajib
beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya.
Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada
cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak
dapat digambarkan dan
dibayangkan oleh akal maka
terlebih lagi tentang Allah.
Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat,
tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah
tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk,
sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai
makhluk-Nya (Lihat Sharîh al- Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah
bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

DISARIKAN DARI KITAB BANTAHAN MUJASIMAH KARYA SYAIKH ABU HAMID BIN MARJUQI CET MAKTABAH
ALHAQIQAT ISTAMBUL.

Kamis, 19 Mei 2011

Dalil bid'ah hasanah bag: I

DALIL BIDAH HASANAH BAG I

1-Dari aisyah RA,Rasul SAW
bersabda:
ﻣﻦ ﺁﺣﺪﺙ ﻓﻲ ﺁﻣﺮﻧﺎ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ
:brng siapa mengada-ada dlm urusan kami yg bukan darinya (dari syariat) mk
itu tertolak (HR BUKHORI)
Perhatikan dlm hadis ini ada
kalimat 'bukan darinya',jadi yg tertolak adlh muhdasat yg tdk bersumber dari agama, adapun muhdasat yg bersumber darinya
mk tdk tertolak mafhumnya 'ﻣﻦ ﺍﺣﺪﺙ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﻨﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﺮﺩﻭﺩ.
:BARANG SIAPA YANG MENGADA-ADA SESUATU YANG ADA SUMBERNYA DARI SYARIAT, MAKA TIDAK TERTOLAK..
contoh sepertì menuliskan
ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ stlh nama ﻣﺤﻤﺪ hal tsbt tdk ada jaman rasul dan para sahabat, lht dlm surat2 Rasul SAW pada Raja2
kafir,cnth surat kpd raja
heraqlus :ﻣﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻲ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﻟﺮﻭﻡ:dari muhamad bin abdillah kpda heraqlus pembesar rum (HR BUKHORI bab kaefa ba' dal
wahyi ila rasulillah),bgtu jg surat buat raja kisra dll,tryt kmudian berlaku dikalangan umat islam
menuliskan ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ stlh nama beliau,mlh orang2 yg suka klaim tdk membuat hal baru dlm agama jg memakainya!!
kenapa perbuatan mereka
bertentangan dgn ucapan
mereka 'stiap yg tdk dilakukan dan tdk ada contohnya adlh bidah sesat pdhl mereka melakukan apa yg mereka larang pada orang lain????

2-Rasul bersabda :ﻣﻦ ﺳﻦ ﻓﻲ ﺍﻵﺳﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﺣﺴﻨﺔ ﻓﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻛﺘﺐ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺁﺟﺮ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﻭﻻﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺁﺟﻮﺭﻫﻢ ﺷﺊ
:brng siapa yg mengadakan dlm islam SUNAH HASANAH lalu diamalkan org yg sesudahnya,mk diberikan
kpdanya pahala sbgaimana
pahala org yg mengerjakan ssudahnya dgn tdk mengurangi sdkt pun..
ﻭﻣﻦ ﺳﻦ ﻓﻲ ﺍﻵﺳﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﺳﻴﺌﺔ ﻓﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻛﺘﺐ ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﻭﺯﺭ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺁﻭﺯﺍﺭﻫﻢ ﺷﻲﺀ
:Dan brg siapa mengadakan
dlm islam SUNAH SAYIAH,lalu
diamalkan org sesudahnya,mk diberikan kpdanya dosa seperti dosa org yg mengerjakan ssudahnya dgn tdk dikurangi sdkt
pun dari dosa orang yg
mengerjakannya (HR MUSLIM)
Dlm hadis diatas ada kalimah SUNAH HASANAH DAN SUNAH SAYIAH,kata sunah tdk bs diartikan sunah sahabat atau sunah nabi,krna DALAM REDAKSI HADIS TERSEBUT ada UNGKAPAN SUNAH SAYIAH, ENGga mgkn SUNAH sahabat atau SUNAH nabi ada yg sayiah, jadi makna SUNAH disana adlh sairoh: jalan/amalan, MAKA TERJEMAH HADIS ADALAH: bArANg siapa mengadakan /membuat prakarsa amalan baik DST.. DAN BARANG SIAPA MENGADAKAN PRAKARSA AMALAN buruk..DST..,ini menandakan bhw hal baru (bidah) ada yg hasanah dan ADA YANG sayiah..
MUNgkIn wahabi berkata 'itu kan mengadakan prakarsa baik ktka rasul msh hidup,adapun ktka sudah wafat,mk tdk bisa !!
KITA jawab 'tdk ada PENGhususan kecuali dgn dalil, justru dlm hadis ITU menunjukan sebaliknya krn
Rasul berkata 'fil islam: dalam islam', DAN tdk mengatakan 'fi hayati: ketika aku hidup',dan tdk
pula rasul mengatakan 'amalan yg aku lakukan semasa hidupku', nah
kata fil islam tdk husus zaman Rasul saja, tp islam ADA SAMPAI SEBELUM QIYAMAT.
MUNGKIN MEREKA BERKATA LAGI :'HADIS ITU KAN TENTANG SODAQAH YANG DIKUMPULKAN PARA SAHABAT SEHINGGA TERKUMPUL MAKANAN YANG BANYAK LALU DIBERIKAN PADA ORG2 FAQIR YANG
MENEMUI RASUL, JADI TDK BISA DI MAKNAI SECARA UMUM BOLEH MENGADA2 AMALAN YG TIDAK ADA ZAMAN NABI /
SAHABAT.
KITA JAWAB 'AL IBROH BI UMUMIL LAFDI LA BI KHUSUSI SABAB: YANG DIPAKAI ADALAH MAKNA DARI KEUMUMAN LAFADNYA BUKAN DARI KEHUSUSAN KONTEK SEBABNYA, SEBAGAIMANA DIKATAKAN ULAMA USUL FIQH.

3-FIRMAN ALLAH SWT;DAN KAMI BERIKAN KEPADANYA (ISA AS) INJIL DAN KAMI JADIKAN DALAM HATI ORANG2 YANG MENGIKUTINYA RASA
SANTUN DAN KASIH SAYANG,DAN MEREKA MENGADA-ADAKAN RUHBANIYAH,PADAHAL KAMI TIDAK
MEWAJIBKANNYA PADA
MEREKA,TETAPI (MEREKA SENDIRI YANG MENGADA-ADAKANYA) UNTUK MENCARI KERIDLOAN ALLAH, LALU
MEREKA TIDAK MEMELIHARA DGN SEMESTINYA,MAKA KAMI BERIKAN KEPADA ORANG2 YG BERIMAN DI ANTARA MEREKA PAHALANYA,DAN BYK DIANTARA MEREKA ORANG2 YG FASIQ (QS ALHADID 27)
KETERANGAN ;DALAM AYAT INI TERKANDUNG PUJIAN ALLAH SWT TERHADAP
UMAT NABI ISA AS YG BERIMAN BAHWA MEREKA UMAT YG SANTUN DAN KASIH SAYANG,DAN MEREKA MENGADA-ADA RUHBANIYAH
( MENAHAN SYAHWAT DARI
BERLEBIHAN DLM HAL YG HALAL SEBAGAI TAMBAHAN DARI MENINGGALKAN HAL YG
HARAM), SEHINGGA MEREKA TDK MENIKAH, MENAHAN DARI MAKANAN YANG LEZAT,PAKAIN MEWAH DAN MENGHADAP AKHIRAT SECARA
SEMPURNA.
DALAM AYAT TADI ADA KALIMAT: 'PADAHAL KAMI TIDAK MEWAJIBKANNYA KEPADA MEREKA (TETAPI MEREKA SENDIRI YG MENGADA -ADAKAN) UTK MENCARI KERIDOAN ALLAH', DISINI ALLAH MEMUJI ATAS MENGADA-ADANYA MEREKA KARENA TIDAK ADANYA NAS
DALAM INJIL DAN TIDAK DIJELASKAN OLEH ISA AS PADA MEREKA DENGAN UCAPAN 'MISAL': LAKUKAN ANU',.TAPI TUJUAN MEREKA ADALAH MENYIBUKAN DIRI DGN TAAT KEPADA ALLAH DAN TDK TERIKAT OLEH KESIBUKAN DUNIAWI DENGAN MENIKAH
DAN MENCARI NAFKAH BUAT
KELUARGA, DAN MEREKA MEMBUAT BANGUNAN DARI TANAH DAN MENJAUH DARI KEHIDUPAN MASARAKAT UTK KHUSUK DLM IBADAH, MEREKA ADALAH PENGIKUT ISA AS YG LURUS DAN BERPEGANG
SYARIATNYA (LIHAT TAFSIR2
ULAMA)..
MAKA PELAJARAN DARI AYAT
INI YAITU BAHWA AMALAN YG
MENGADA-NGADA DAN TIDAK
BERTENTANGAN DGN SYARIAT
JUSTRU AMALAN TADI SELARAS DENGAN SYARIAT,MAKA BUKANLAH BIDAH SESAT /JELEK TETAPI DIBERI PAHALA
PELAKUNYA DAN DISEBUT SUNAH HASANAH ATAU BIDAH HASANAH.
CONTOH-CONTOH:
1-MEMBERI TITIK,HAROKAT HURUF2 QURAN YG DILAKUKAN YAHYA BIN YA'MAR, SEBAB MUSHAF YANG DIDIKTEKAN RASUL KEPADA PARA
SOHABAT TDK ADA TITIKNYA
SEPERTI: BA,TA DLL, LIHAT DLM KITAB ALMASOHIF KARYA ABI DAWUD.
2-SOLAT 2 ROKAAT SEBELUM
DIBUNUH SEPERTI YG DIADAKAN OLEH KHUBAIB BIN ADI SEPERTI DALAM RIWAYAT BUKHORI DARI ABU HURAIRAH.
3-SOLAWAT SETELAH ADZAN,SEBAGAIMANA KEUMUMAN HADIS: 'BARANG SIAPA
MENYEBUT NAMAKU MAKA BACALAH SOLAWAT PADAKU (HR ALHAFID ABU YA'LA DAN ALHAFID SAKHOWI DALAM
ALQAULUL BADI' DENGAN SANAD LA BA'SA BIH) JUGA HADIS DARI ABDULAH
BIN AMR BHW RASUL
BERSABDA: JIKA KALIAN MENDENGARKAN ADZAN
MAKA UCAPKANLAH SEPERTI APA YANG DI UCAPKAN MUADZIN KEMUDIAN BACALAH
SOLAWAT KEPADAKU (HR MUSLIM n0 348)
4-DAN LAIN_LAIN

SEHINGGA IMAM NAWAWI RA DALAM TAHDZIBUL ASMA WA LUGOT MENYATAKAN: BIDAH TERBAGI KEPADA HUKUM SYARA YANG 5 YAITU: HARAM-WAJIB-SUNAH- MAKRUH-MUBAH. KETIKA MASUK
KEPADA KAIDAH WAJIB,MAKA JADI BIDAH WAJIB DST..SEBAGAIMANA DIKATAKAN SYAIKH AL IZZU BIN ABDISALAM DALAM AKHIR KTB
ALFAWAIDNYA..
WALLAHU A'LAM BI HAQIQOTIH

BERSAMBUNG KE BAG II

Selasa, 17 Mei 2011

Mengkompromikan perbedaan definisi bid'ah

Bid’ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti, maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah sesama muslim.
Tulisan ini saya buat dengan
harapan bisa mempererat tali ukhuwwah sesama muslim apapun organisasinya dan agar
kita bisa menyikapi perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan
penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ulama dulu ketika mereka berbeda pandangan, yakni:
pendapat yang kami ambil
adalah pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru, sedangkan pendapat selain
pendapat kami adalah keliru
walaupun ada kemungkinan
benar, bukan menyatakan
pendapat selain pendapatnya adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun syubhat dalilnya juga.
1. Hadits Hadits Tentang Bid’ah Sebelum membahas lebih lanjut, berikut beberapa hadits tentang
bid’ah, adapun penomoran hadits disini sesuai dengan software Kutubut Tis’ah (kalau redaksi hadits cukup panjang, saya kutip sebagian saja yang khusus
berkaitan dengan tema ini):
1. Riwayat Muslim no 1435 dari Jabir bin Abdullah:…
… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat…
2. Riwayat Abu Dawud no 3991 dari Irbadh bin SâriyaH:
…Jauhilah oleh kalian perkara- perkara baru, sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah
bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat…
3. Riwayat An Nasâ’i no 1560 dari Jabir bin Abdullah:
Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru,
setiap hal yang baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka ’…
4. Riwayat Ibnu Majah no 42 dari Irbadh bin Sâriyah:
…dan jangan sampai kalian
mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena
sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat…
Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir
bin Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45) dengan redaksi:
…Ingatlah, janganlah kalian
membuat perkara-perkara baru.
Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat…
5. Imam Ahmad juga
meriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah (no 13815), dan dari
Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang kurang lebih sama diatas.
Adapun hadits dari Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al Bazzar menyatakan: hadîts
tsâbit shahÎh, Al Hafidz Ibnu
Abdil Barr menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan :
ﺻﺤﻴﺢ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻋﻠﺔ (Shahih tidak ada cacatnya)[1].

2. Pendapat Para Ulama
berkaitan dengan Bid’ah
Dari kitab Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, secara umum ada dua pendapat berkaitan dengan
bid’ah, yakni:
1. Ada Bid’ah Baik (Hasanah) Dan Buruk (Dlolalah)
Ini merupakan pendapat[2] Al- Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Shulthonul Ulama Al-’Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 1505 M), Abu Syaamah
(wafat 665 H). Dari kalangan
Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al
Hafidz Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm (wafat 456 H).
2. Bid’ah Semuanya Sesaat, baik dalam adat maupun ibadah.
Ini merupakan pendapat [3]At- Thurthusy, Asy-Syathibi (wafat 790 H), Imam Asy-Syumunni (wafat 821 H) dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga Al Hafidz Al-Baihaqi (wafat 458 H), Al Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqallany (wafat 852 H), serta Ibnu Hajar Al- Haitami (wafat 974) dari kalangan
Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al- Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab (wafat 795 H) dan Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M). Termasuk pendapat Imam Malik, beliau berkata:
ﻣﻦ ﺍﺑﺘﺪﻉ ﻓﻲ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺑﺪﻋﺔ ﻳﺮﺍﻫﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻓﻘﺪ ﺯﻋﻢ ﺍﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺧﺎﻥ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ،ﻻﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻳﻘﻮﻝ :ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﺘﻲ......ﻓﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻼ ﻳﻜﻦ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺩﻳﻨﺎ
Barang siapa mengada-adakan didalam Islam suatu bid’ah yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka ia telah menuduh
Muhamad SAW menghianati
risalah, karena Allah telah
berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agamamu. Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat hidup Rasul) bukan pula termasuk ajaran
agama pada hari ini. (lihat Abdul Muhsin bin Hammad dalam ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻘﻮﻱ ﺍﻟﻤﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﻭﺗﺘﻤﺔ ﺍﻟﺨﻤﺴﻴﻦ , hal 86, Maktabah Syâmilah)

3. Kenapa Terjadi Perbedaan
Pendapat?
Dari apa yang saya kaji,
sebenarnya perbedaan
pandangan apakah ada bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua kelompok ulama tersebut
sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna, hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.
Kalangan pertama memaknai bid’ah hanya sebatas makna bahasa saja, yakni:
Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-’a asy-syai’ yabda’uhu bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan
memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali, dengan makna ini allah berkata:
Katakanlah (wahai
Muhammad)aku bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9) [4]
Sedangkan makna hadits (yang baru):
Al hadits (yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang dahulu), dan huduts: keberadaan sesuatu
setelah sebelumnya tidak ada.[5]
Ini juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW (no 2):
……… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…
Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:
………dan setiap bid’ah adalah sesat…
Kata Kullu (setiap) dalam kullu bid’ah (setiap bid’ah) adalah dimaksudkan untuk sebagian, yakni bid’ah yang buruk saja (dalam bahasa Arab ada kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian), kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan majaz totem pro parte (pelajaran SMP dulu).
Misalnya dalam Al Qur’an Allah menyatakan dalam Surah Al Kahfi 79:
Adapun bahtera itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas (tiap-tiap) bahtera.
Kalimat ''merampas (tiap-tiap) bahtera'',maksudnya bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu dikatakan aku bertujuan merusakkan bahtera itu yakni agar tidak dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan sebagian saja.
Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka
memahami sabda Rasulullah SAW (no 2):
……… sesungguhnya (setiap) perkara yang baru adalah bid’ah…
Kata (kullu)disini maksudnya
khusus, bukan semuanya,
sehingga mereka menggolongkan pesawat (walaupun di zaman Rasul tidak ada), bangunan
sekolah, komputer, adanya jam belajar tertentu di sekolah dll, yang merupakan perkara baru
namun tidak digolongkan bid’ah.
Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:
………dan (setiap) bid’ah adalah sesat…
Kata (kullu) disini mereka
maksudkan untuk menyatakan semua, tanpa pengecualian, adapun pengecualiannya di masukkan dalam pengkategorian apakah sesuatu itu bid’ah atau
bukan, yakni mereka
menggunakan kata bid’ah dengan pendefinisian baru, antara lain:
Definisi Imam Asy Syatibi [6] , ada dua definisi bid’ah,yakni:
Sebuah jalan (tariqah) dalam
agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika
melakukannya diniatkan untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Definisi ini mengkhususkan
bahwa bid’ah adalah khusus dalam ibadah, bukan adat.
Definisi kedua dari Asy Syatibi:
Sebuah jalan (tariqah) dalam
agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika
melakukannya diniatkan
sebagaimana apa yang dimaksud oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.

Definisi yang kedua ini
memasukkan adat kedalam
bid’ah jika diserupakan dengan thariqah (jalan) syari’at.
Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang tidak ada pokok (asal/ dasar) nya dalam syari’ah yang
menunjukkan atasnya, adapun jika ada asal/pokok /dasar dari syari’ah maka itu bukan termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.

Oleh karena itu, sebenarnya
perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam tema pembahasan (domain) bid’ah itu, kalangan pertama yang menyatakan ada bid’ah baik dan buruk, domainnya adalah semua
hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah, sedangkan yang menyatakan semua bid’ah adalah sesat, domainnya mereka sempitkan pada yg baru dalam tema agama, yang baru tadi dianggap bagian dari syari’ah, dan
dimaksudkan sebagaimana yang dimaksudkan syari’ah.

4. Kenapa Masih dipertentangkan?
Seandainya saja mereka sepakat tentang domain pembahasan bid’ah, tentu tidak perlu ada perbedaan yang berarti, dan sekiranya mereka mau memahami makna yang dimaksud oleh masing masing pihak, niscaya mereka tidak akan
saling berselisih, (bahkan di Bogor pernah ada dua radio FM berbantah-bantahan berulang ulang tentang hal ini), seperti ungkapan berikut:
Orang yang membagi bid’ah
menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW :“Artinya :
Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat. Karena Rasulullah SAW telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ;
dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Kemudian yang satunya
menjawab: orang yang
menyatakan setiap bid’ah adalah sesat, namun menyatakan bahwa
belajar nahwu, sharaf,
membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : Artinya :
Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah. Rasulullah SAW telah menghukumi bahwa semua
yang baru sebagai bid’ah; dan orang ini (yang menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah)
mengatakan tidak semua yang baru sebagai bid’ah, tapi yang baru dg syarat- syarat tertentu.
kalau mau konsisten,
seharusnya membuat syarat-syarat tertentu yg tidak dijelaskan Rasulullah itu juga bid’ah!
Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal yang berbeda pendapat itu para ulama besar yang sudah dikenal
luas oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.

5. Bagaimana Menyikapinya
Seharusnya umat, apalagi da’i, ustadz, kyai, bisa memberi contoh bagaimana seharusnya berbeda pendapat, dan mencerdaskan umat bahwa
perbedaan tersebut hanya
terjadi dalam perbedaan pengungkapan, bukan makna yang dikandung
walaupun dalam detil masalahnya memang kadang terjadi perbedaan.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H), walaupun beliau menyatakan semua bid’ah
adalah sesat, tentunya
bid’ah yang beliau maksud
adalah bid’ah dengan maksud khusus, beliau dalam kitabnya, Fathul Bâry, masih mengakomodir pendapat pendapat yang berbeda dengan pendapatnya, beliau tidak
menyalahkannya, apalagi
menyatakan sebagai sesat,
beliau hanya menjelaskan bahwa pendapat yang berbeda tersebut adalah bid’ah dalam domain makna bahasa, dan beliau tidak
memaksakan pendapatnya
untuk mengikuti definisi bid’ah sebagaimana yang didefinisikan oleh kelompok kedua.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menulis[7]:
Asy Syafi’i berkata: Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela,yang sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah
maka ia tercela dikeluarkan
Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: al muhdatsaat (yang diada adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat,
dan apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan sesuatupun dari yang
demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak
tercela ,
Dibagian lain Al Hafidz Ibnu HajaR mengutip Al Izzu bin Abdissalaam:
Dan telah berkata Ibnu
Abdissalaam dalam akhir kitab al qawa’id, Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya,
karena menjaga syari’ah itu
wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya (nahwu) maka itu menjadi pembuka yang
wajib…, yang haram; (pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang
menyelisihi sunnah, dari kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan Allah dengan makhluq), yang mandub /sunnah; setiap kebaikan
yang tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah, membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang terpuji, mengadakan majelis
diskusi/ceramah jika yang
dikehendaki adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg
lezat2 berupa makanan,
minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilafulaula (menyelisihi yng utama) Wallahu A’lam

6. Yang Saya Fahami
Karena domainnya berbeda,
maka tidak bisa dicampurkan dalam satu pembahasan, bisa kacau.
Seperti ilustrasi yang pernah saya buat:
Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti Matematika karena
yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.
Perdebatan panjangpun terjadi, masing masing mengemukakan pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa
menanyakan tema pembahasan mereka masing masing, sampai akhirnya ada seseorang
yang berusaha melerai, dan
barulah mereka sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam basis
2, si B menyatakan hasilnya
dalam basis 3, dan si C
menyatakan hasilnya dalam
basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika, ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan yang
mereka maksud.
Kalau kita berada pada domain pendapat pertama sebenarnya sudah selesai masalahnya, artinya semua hal yang baru yg baru pasti bisa baik atau buruk maka harus dicari status hukum
syari’ahnya, kalau sesuai berarti bid’ah hasanah (menurut kelompok ke dua berarti bukan bid’ah), kalau bertentangan berarti bid’ah madzmumah (tercela).
Kalau kita kita berada pada
domain pendapat kedua, bahwa semua bid’ah adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar lebih mudah dicerna),bid’ah [8] adalah:
ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ
Perbuatan yang menyelisihi apa- apa yang dibawa oleh syara’[9]
Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup
dalam dalil umum ini maka tidak disebut bid’ah seperti belajar kimia, biologi, dll walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil tentang menuntut ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada masa Rasul dikatakan bid’ah.
Hanya perbuatan yang Allah telah menentukan secara khusus kayfiyat nya maka melakukan perbuatan tersebut dg membuat
kayfiyat sendiri adalah bid’ah.
Solat misalnya, jumlah
raka’atnya sudah ditentukan, waktunya
telah dibatasi, arahnya sudah ditentukan, cara dan syarat- syaratnya telah baku, wudlu’, berdiri, angkat tangan, niat, ruku’, sujud, duduk dan seterusnya. Maka solat tergolong
ibadah yang kayfiyatnya sudah dibatasi dan dijelaskan, maka melakukannya dengan cara yang bebas dari ketetapan-
ketatapannya, misalnya : solat di luar waktunya, membelakangi kiblat, sujud sebelum ruku’ dan seterusnya, maka dia telah
berbuat bid’ah. Mengangkat
kedua tangan saat takbir dalam shalat telah Allah atur dengan kayfiyat tertentu yang hukumnya sunnah, tidak melakukannya berarti tidak
berdosa, namun mengangkat tangan saat sholat dengan membuat kayfiyat sendiri (misalnya dengan mengepalkan
jari dan mengangkat satu tangan saja seperti takbir saat masiroh) maka ini bid’ah.
Azan telah disyari’atkan dengan lafadz tertentu, maka azan dengan lafadz yang lain, atau menambah, atau mengganti dg lafadz yang lain, atau mengganti
hurufnya, atau panjang
pendeknya, semuanya
terkategori bid’ah, misalnya kata shalat dalam azan, walaupun shalat adalah amal yang baik,
tidak boleh diganti dengan
khairul amal sehingga hayya
alash shalat menjadi ﺣﻲ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻌﻤﻞ. Adapun lagu/nada azan, karena Allah tidak menentukan
kayfiyat tertentu tentang
lagunya, maka tidaklah
terkategori bid’ah.
Adapun perintah tentang dzikir dan berdo’a telah disepakati kemutlakannya oleh semua ulama’, boleh berdiri, boleh duduk, boleh berbaring dan seterusnya,
intinya, syari’ tidak pernah
membatas-batasinya dengan menentukan metode khusus sebagaimana halnya solat, haji dan ibadah-ibadah muqayyad (yang telah dibatasi kayfiyatnya)
lainnya.
Kalau dalam shalat dan haji
Rasulullah bersabda:
ﺻﻠﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻧﻰ ﺃﺻﻠﻰ
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhory)
ْﻢُﻜَﻜِﺳﺎَﻨَﻣﺧﺬﻭﺍ ﻋﻨﻲ
Ambillah dariku manasik haji
kalian (HR Muslim)
Sedangkan dalam dzikir tidaklah demikian, tidak ada kayfiyyat daN batasan khusus yg digariskan
Allah berkaitan dengan do’a dan dzikir, maka tidaklah dikatakan bid’ah kalau imam berdo’a dengan suara yg terdengar jama’ah, dengan bahasa arab atau non arab, atau bersalaman sambil berdo’a taqabbalallahu…. Ibadah zikir adalah ibadah mutlak yang tidak boleh dibatas-batasi oleh seseorang, baik membatasinya dengan cara tertentu misalnya harus bergerak-gerak, harus
berjama’ah, harus ini, harus itu dll, atau membatasinya dengan larangan tertentu, misalnya tidak boleh bergerak-gerak, tidak
boleh bersama orang lain, tidak boleh dihitung, dll. Keduanya (membatasi dengan membuat kayfiyat khusus yang harus begitu atau larangan tertentu
tanpa dasar syara’) sama sama dilarang. Jadi karena kemutlakan zikir itu maka boleh-boleh saja dilakukan secara sendiri ataupun
bersama orang lain, di masjid ataupun di rumah, bergerak ataupun diam seperti patung, berdiri, duduk ataupun berbaring,
dihitung atau tidak, dan
seterusnya.
Sama juga seperti membaca Al Qur’an, Allah tidak menentukan nada tertentu untuk membaca Al
Qur’an, ia boleh membacanya dengan nada seperti suda’is, ghomidy, mu’ammar, dll dan tidak
terkategori bid’ah membaca dengan nada/ gaya tersebut, adapun melarang orang untuk
mengikuti nada tertentu dalam membaca Al Qur’an, dengan alasan nada tersebut tidak ada pada masa Rasul, maka justru
larangan seperti ini yang dilarang, karena ketiadaan sesuatu bukan dalil untuk menyatakan adanya sesuatu. Sama seperti sedekah misalnya, boleh dengan uang, boleh dengan mobil, boleh dengan komputer, dengan pesawat, dll, maka tidak boleh dibatas-batasi
dengan mengatakan : sedekah itu hanya sah dengan uang saja dan
tidak sah dengan komputer
karena nabi tidak mencontohkan yang demikian.
Berkaitan dengan ini, dalam
kitabul manasik dikatakan:
ﻟﻨﺎ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﻧﻄﻠﻖ ﻣﺎ ﻗﻴﺪﻩ ﺍﻟﻠﻪ
ﻟﻴﺲ،
ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻥ ﻧﻘﻴﺪ
ﻣﺎ ﺃﻃﻠﻘﻪ ﺍﻟﻠﻪ
Kita tidak punya hak untuk
memperluas(memutlakkan) apa yang sudah dibatasi oleh Allah, maka kita juga tidak punya hak untuk membatas-batasi yang
telah diperluas (mutlakkan) oleh Allah[10].

7. Penutup
Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara umum:
Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk
mengkaji apakah yang baru
tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh) atau buruk (haram)
Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua yang baru adalah bid’ah,
maka wajib bagi mereka ketika ada sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut bid’ah (sehingga sesat/
haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau makruh?).

Jadi dari pada berpolemik
sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib, sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.
[1] Lihat Irwa’ul Ghalil, 8/107
[2] ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻟﻠﻌﺰ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ
ﺍﻟﺴﻼﻡ 2 / 172 ﻁ ﺍﻻﺳﺘﻘﺎﻣﺔ،
ﻭﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﻟﻠﺴﻴﻮﻃﻲ 1/539 ﻁ
ﻣﺤﻴﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ،ﻭﺗﻬﺬﻳﺐ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﻠﻐﺎﺕ ﻟﻠﻨﻮﻭﻱ 1/22 ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ، ﻭﺗﻠﺒﻴﺲ ﺇﺑﻠﻴﺲ
ﻻﺑﻦ ﺍﻟﺠﻮﺯﻱ ﺹ16 ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ 1/376 ﻁ ﺑﻮﻻﻕ، ﻋﻠﻰ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﺍﻟﺒﺎﻋﺚ
ﻷﺑﻲ ﺷﺎﻣﺔ 1315 ﻁ ﺍﻟﻤﻄﺒﻌﺔ
ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ.
(2)ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ 2/172، ﻭﺍﻟﻔﺮﻭﻕ 4/219.
[3]ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ﻟﻠﺸﺎﻃﺒﻲ1/ /18 ،19 ﻁ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭﻳﺔ،ﻭﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ﺹ114ﻁ ﺩﺍﺭ
ﺍﻟﻌﻬﺪ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ،ﻭﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﺍﻟﺒﺪﻉ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻟﻄﺮﻃﻮﺷﻲ ﺹ 8 ﻁ ﺗﻮﻧﺲ، ﻭﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ ﻻﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺹ 228،278 ﻁ ﺍﻟﻤﺤﻤﺪﻳﺔ،
ﻭﺟﺎﻣﻊ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ ﺹ160 ﻁ ﺍﻟﻬﻨﺪ،ﻭﺟﻮﺍﻫﺮ ﺍﻹﻛﻠﻴﻞ 1/ 112 ﻁ ﺷﻘﺮﻭﻥ،ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ 25/
37 ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ،ﻭﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ 5/ 156 ﻁ ﺍﻟﺤﻠﺒﻲ.
[4 ] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah
[6] ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ﻟﻠﺸﺎﻃﺒﻲ1/ /19 ﻁ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭﻳﺔ
[7 ] Fathul Bâry, Juz 20 hal 330 dst, Maktabah Syamilah
[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa bid’ah disini adalah yang semuanya sesat.
[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah
(kumpulan soal jawab)
[10] ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻤﻨﺎﺳﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺡ
ﺍﻟﻤﻤﺘﻊ

Bid'ah cuma ada dalam hal ibadah, Ibadah yang bagaimana ??

any way .. Semoga ini menambah ilmu bagi kita. Amien.

ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ
ﻭﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻴﻠﺔ ﺃﻭﺩ ﺃﻥ ﺃﻗﻒ ﻋﻨﺪ ﻗﻀﻴﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻣﻌﺮﻭﻓﺔ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ
ﻭﻫﻲ، ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ، ﻭﻫﺬﻩ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻧﻔﻴﺴﺔ ﻭﻣﻬﻤﺔ ﺟﺪﺍ ﻭﻧﺎﻓﻌﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ، ﻓﺒﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ
ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ،ﺑﻞ ﻓﻌﻞ ﻟﻜﺎﻥ ﻗﺪ ﺷﺮﻉ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺫﻥ ﺑﻪ ﺍﻟﻠﻪ،ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﺷﺄﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺤﺞ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺃﻭ ﻧﻘﺼﺎ ﺃﻭ ﺗﻘﺪﻳﻤﺎ ﺃﻭ ﺗﺄﺧﻴﺮﺍ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ، ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ،ﺑﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺘﻠﻘﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ،ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻟﻬﺎ ﺗﻌﻠﻴﻞ،ﺑﻞ ﻫﻲ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻷﺻﻮﻟﻴﻮﻥ:
ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ،ﺃﻭ ﺗﻌﺒﺪﻳﺔ، ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻋﻘﻮﻟﻨﺎ ﻧﺤﻦ ﻣﺎ ﻳﺒﻴﻦ ﻟﻤﺎﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎ، ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎ،ﻭﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﺛﻼﺛﺎ، ﻭﺍﻟﻔﺠﺮ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ،ﻟﻴﺲ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ
ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺇﻻ ﺃﻧﻨﺎ ﺁﻣﻨﺎ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺟﻞ ﻭﻋﻼ، ﻭﺻﺪﻗﻨﺎ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ،ﻓﺠﺎﺀﻧﺎ ﺑﻬﺬﺍ ﻓﻘﺒﻠﻨﺎﻩ،ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﻘﺎﺋﺪ ﻭﻃﺮﻳﻖ ﻣﻌﺮﻓﺔ
ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ،ﻓﻤﺒﻨﺎﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻭﺍﻟﺴﻤﻊ ﻭﺍﻟﻨﻘﻞ ﻻ ﻏﻴﺮ،ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻟﻌﻘﻮﺩ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ،ﻓﺈﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﻭﺍﻹﺫﻥ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ
ﻭﺭﺩ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻣﻨﻬﺎ،ﻓﻠﻮ ﻓﺮﺽ ﻣﺜﻼ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺧﺘﺮﻋﻮﺍ ﻃﺮﻳﻘﺔ
ﺟﺪﻳﺪﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻴﻊ
ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺀ ﻋﻘﺪﺍ ﺟﺪﻳﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺟﻮﺩﺍ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ،ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﻊ،ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺭﺑﺎ ﻭﻻ ﻏﺮﺭ ﻭﻻ ﻇﻠﻢ ﻭﻻ ﺷﻲﺀ ﻳﺘﻌﺎﺭﺽ ﻣﻊ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬ ﻧﻘﻮﻝ:ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻣﺒﺎﺡ
terjemahan, asal dalam ibadah adalah tauqifi Saya ingin menerangkan permasalahan penting tentang ibadah, yaitu tentang kaidah yang sudah amat terkenal, yaitu : segala sesuatu dalam ibadah itu tauqufi sifatnya. kaidah ini amat sangat penting dan sangat bermanfaat bagi manusia.nisbahnya pada adat,manusia tidak boleh membuat buat sesuatu sebagai ibadah yang tidak diizinkan Allah dalam agama.
Seseorang tidak boleh
mengerjakan sholat, zakat,
puasa haji,,,dengan menambahi atau mengurangi, atau mendahulukan dan mengakhirkan atau selainnya. bahkan ia,
seperti dikatakan ushuliyyun : tidak bisa di aqal maknanya artinya : kita tidak bisa tahu kenapa shalat dzuhur 4, shalat
ashar 4 rakaat, maghrib 3, fajar 2, tidaklah kita tahu akan hikmatnya. Tapi yang jadi kewajiban kita adalah beriman pada Allah, dan membenarkan Rasul serta apa yang dibawanya dan wajib kita terima. ini adalah
tata cara beraqidah dan
melaksanakan ibadah. Dasarnya adalah tauqif, naql dan dalil sama’i. tidak yang lain. Ini berbeda dari mu’amalat… asalnya adalah boleh sampai ada dalil larangan terhadapnya
( artinya akan terus boleh
sampai ada dalil yang melarang ). seperti seseorang yang membuat
sesuatu yang baru dengan
membuat cara cara baru
tentang jual beli yang tidak ada di zaman nabi, maka tidak ada alasan melarangnya, juga jika tidak ada faktor yang membuat dia haram, seperti riba, jahalah, penipuan, dzalim dan tidak bertentangan dengan ushul syariah, maka kita mengatakan : ini semua mubah (boleh ).selesai.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ، ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻓﻲ ﺻﻔﺘﻬﺎ-ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ-ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﻭ ﻳﻨﻘﺺ،ﻛﺄﻥ ﻳﺴﺠﺪ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻛﻊ ﻣﺜﻼ
ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺴﺠﺪ،ﺃﻭ ﻳﺠﻠﺲ ﻟﻠﺘﺸﻬﺪ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ، ﻓﻬﻴﺌﺔ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻴﺔ ﻣﻨﻘﻮﻟﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
terjemahannya : tauqifi dalam sifat ibadah, ibadah itu tauqifi dalam semua hal.
1- dalam sifatnya,,,maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya… oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( Allah )
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﺯﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﺯﻣﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺗﻮﻗﻴﻔﻲ-ﺃﻳﻀﺎ-ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺨﺘﺮﻉ ﺯﻣﺎﻧﺎ ﻟﻠﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻢ ﺗﺮﺩ،ﻣﺜﻞ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﺜﻼ
2-tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah waktu pelaksanaan ibadah juga
tauqifi. maka tidak boleh
seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻧﻮﻉ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﻛﺬﻟﻚ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ ﻓﻲ ﻧﻮﻋﻬﺎ،ﻭﺃﻋﻨﻲ ﺑﻨﻮﻋﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ،ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ
ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﺑﺄﻣﺮ ﻟﻢ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﺻﻼ، ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﻥ ﺑﺎﻟﻮﻗﻮﻑ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻤﺲ،ﺃﻭ ﻳﺤﻔﺮ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ
ﻭﻳﺪﻓﻦ ﺑﻌﺾ ﺟﺴﺪﻩ ﻭﻳﻘﻮﻝ: ﺃﺭﻳﺪ ﺃﻥ ﺃﻫﺬﺏ ﻭﺃﺭﺑﻲ ﻭﺃﺭﻭﺽ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﺜﻼ، ﻓﻬﺬﻩ ﺑﺪﻋﺔ!
3-tauqifi dalam macamnya ibadah, begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dengan syari’at..artinya termasuk dari jenis ibadah yang di syariatkan, maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata saya ingin melatih badanku misalkan ini semua bid’ah.
ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ ﻓﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ
ﻛﺬﻟﻚ ﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻻﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ،ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻺﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﻜﺎﻧﻬﺎ،ﻓﻠﻮ ﻭﻗﻒ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ-ﻣﺜﻼ-ﻳﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ
ﺑﻻـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺎ ﺃﻭ ﻭﻗﻒ ﺑـﻤﻨﻰ،ﺃﻭ ﺑﺎﺕ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺑـﻌﺮﻓﺔ،ﺃﻭ ﺑﺎﺕ ﻟﻴﺎﻟﻲ ﻣﻨﻰ ﺑﻻـﻤﺰﺩﻟﻔﺔ ﺃﻭ ﺑـﻌﺮﻓﺔ،ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺃﺩﻯ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ،ﺑﻞ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺰﻡ ﺑﺎﻟﻤﻜﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺣﺪﺩﻩ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ
ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ.
4-tauqifi dalam tempat
ibadah. maka ini juga harus masyru’. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. seperti jika
seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan
sebaliknya, maka ini semua
bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah
disyari’atkan oleh syari’.selesai.

Maka kalau anda baca
semua,,akan ada point-point yang bisa kita tangkap yaitu:
IBADAH YANG DIMAKSUD DALAM KAIDAH DIATAS adalah IBADAH MAHDLOH, yaitu ibadah yang hanya
mengatur hubungan kita dengan Tuhan saja. MAKA TIDAK ADA BID'AH DALAM IBADAH GOER MAHDLOH !! karena yang namanya
ibadah mahdlah itu:
(A)- harus ada unsur-unsur berikut ini :
1. Sifat
2. Zaman
3. Macam
4. Tempat
Anda sholat dzuhur di waktu duha, inilah yang bid’ah anda mau haji tapi ke Amerika, inilah bid’ah anda mau ruku’ tapi dilaksanakan
di sesudah sujud, inilah bid’ah karena tidak disyari’atkan.
(B)- Dalam ibadah mahdlah,,,yang ada CUMA maqashid (tujuan).
BERBEDA DENGAN ibadah ghairu mahdlah, ada wasail
(wasilah) dan maqashid (tujuan).
Saya menulis disini,tujuannya adalah mencari ridha Allah, biar saya dapat pahala. Maka tidak ada keraguan didalamnya bahwa ini namanya Ibadah. Wasailnya adalah menulis disini , dan maqashidnya adalah mengharap ridha Allah. Artinya, wasailnya
bukan dzat nya ibadah. Menulis apakah ibadah ?? …bukan !!
BEGITU JUGA KEGIATAN BERKUMPUL DIMAJLIS DGN MEMBACA MAULID TUJUAN NYA MENCARI RIDHO ALLAH, MENANAMKAN KECINTAAN PADA NABI, JUGA SUPAYA DAPAT PAHALA, MAKA TIDAK ADA KERAGUAN DIDALAMNYA BAHWA INI IBADAH..WASAILNYA ADALAH BERKUMPUL, MENDENGAR SEJARAH NABI, MAQOSIDNYA MENCARI RIDHO ALLAH…DLL, MAKA TIDAK LAYAK DITANYA ''APA DALILNYA ??’ TOH ITU
MUAMALAH BERUPA WASAIL DAN JADI NILAI IBADAH DENGAN MAQOSID..! NAH WASAIL BUKAN DZATNYA IBADAH,KAYA KITA BERKUMPUL REUNIAN,APAKAH ITU DZATIYAH IBADAH ? BUKAN ! TP KALAU MAQOSIDNYA BAIK, SEPERTI MEMPERERAT SILATURAHIM, MAKA BERNILAI IBADAH , NAH KARENA PERTANYAAN TIDAK TEPAT, MAKA GAK ADA JAWABAN, DALAM HAL IBADAH GOER MAHDOH, YANG MESTI DITANYA ADALAH APA
MAQOSIDNYA !!?’
-LILWASAIL HUKMUL MAQOSID- ,Berbeda kalau saya sholat. Sholat itu adalah dzat ibadah. Maka
tidak ada lagi wasail.
-MAKA FAHAMILAH KAIDAH DIATAS, JUGA APA MAKSUD DARIPADA IBADAH’ TERSEBUT ! JADI HAL IBADAH BARU YANG TIDAK ADA DALIL-NYA DAN HUKUMNYA BID’AH SESAT, ADALAH MENGADA- NGADA IBADAH MAHDLOH ATAU MENAMBAHI, MENGURANGI ATAU TIDAK PADA TEMPAT DAN WAKTUNYA, BUKAN DLM HAL IBADAH GHOER MAHDOH /MUAMALAT.! FAHAMILAH.!!.Wallahu a’lam....

Maksud sifat Marah dan Malu ketika di sandarkan kepada Allah

IMAM FakħrudDiin Ar Raziy
menyatakan dalam TAFSIR Al-Qur'an: "FAIDAH YANG Ke empat bahwa al-għađab (marah /murka) adalah perubahan yang terjadi ketika MENDIDIHNYA DARAH dalam hati karena keinginan untuk balas dendam.
KETAHUILAH BAHWA HAL ini TIDAK mungkin dihubungkan KEPADA ALLAH, KARENA DZAT ALLAH TIDAK SAMA DENGAN DZAT MAHLUK, AdaLAH suatu prinsip umum dalam MASALAH ini, bahwa semua motif sifAT YANG ADA PADA MAHLUK seperti CINTA,bahagiaan, marah, malu,cemburu, bangga, SEMUA memiliki ARTI awal dan ARTI akhir DALAM PENDEFINISIAN. Ambil contoh għađab / MARAH; ARTI tahap pertama
adalah rasa aliran darah di
jantung, dan TAHAF akhirnya adalah rasa untuk menyakiti SESEORANG yang DI MARAHINYA. MAKA kata
għađab: MARAH KETIKA DISANDARKAN KEPADA ALLAH SEBENARNYA BUKANLAH arti pertama YAITU: ''MENDIDIHNYA aliran darah di jantung'. Sebaliknya YAITU memiliki arti YANG akhir (GOYAHNYA): YAKNI KEHENDAK untuk menghukum.
Sebagai contoh lain, rasa malu memiliki tahap pertama, YAITU rasa hancur
dalam diri sendiri, DAN juga memiliki tahap akhir, YAITU rasa ENGGAN melakukan sesuatu (yaitu MALU mengisi HATI, sehingga tidak
melakukan apa PUN yang HENDAK DI lakukan) Jadi kata ĥaya '(lit. rasa malu dalam bahasa Arab), bila digunakan untuk Allah, MAKA MAKSUDNYA YAITU TIDAK BERKEHANDAK melakukan sesuatu, DAN BUKAN perasaan HANCUR di dalam HATI. ini ADALAH sebuah
prinsip (KAIDAH) UMUM YANG mulia yang berlaku dalam masalah ini (1 )."

IMAM Al-Kħaazin dalam TAFSIRNYA KETIKA MENTAFSIR AYAT: INNALLAHA LA YASTAHYI AN YADLRIBA MATSALAN: SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK MALU UNTUK MEMBUAT PERUMPAMAAN'',BELIAU mengatakan, "Malu adalah perubahan dan kehancuran yang menimpa seseorang karena takut, SEPERTI TAKUT dikritik atau disalahkan, DAN Telah dikatakan MALU adalah merasa ngeri dari diri sendiri DARI tindakan
jelek YANG AKAN MENIMPANYA, Inilah arti ASAL dari rasa malu bila DI SANDARKAN PADA manusia. DAN Allah jelas DI SUCIKAN dari semua makna tersebut dalam sifat-sifat-Nya, jadi jika kata ini DISANDARKAN KEPADA ALLAH (dalam bahasa Arab) maka artiNYA: "tidak melakukan." Karena semua tindakan memiliki ARTI awal dan
akhir, dan ARTI TAHAP awal DARI RASA malu adalah perubahan yang terjadi
pada seseorang ketika ia takut TERKENA tindakan jelek, ADAPUN Akhir / GOYAH (rasa malu) adalah meninggalkan tindakan jelek TERSEBUT Jadi, jika rasa malu yang DISANDARKAN KEPADA Allah (dalam NAS suci bahasa Arab, MAKA MAKNANYA TIDAK SAMA DALAM TERJEMAH INDONESIA), maka pengertian awal tidak dimaksudKAN UNTUK ALLAH, yang MAKNANYA ADALAH PerubahAN DI HATI dan RASA ketakutan.
Sebaliknya,yang dimaksud UNTUK ALLAH adalah: "tidak melakukan tindakan," yang merupakan ARTI akhir (GOYAH) dari konsep rasa malu. Jadi MAKSUD AYAT: Allah tidak malu UNTUK MEMBUAT prumpamaan/
MITSAL'',artiNYA bahwa Allah tidak meninggalkan sebuah
perumpamaan DI karenaKAN perkataan orang-orang kafir (lebih khusus dalam konteks) AYAT INI ADALAH orang-orang Yahudi ( 2 ). "

(1)
.ﺍﻟﻔﺎﺋﺪﺓ ﺍﻟﺮﺍﺑﻌﺔ:ﺍﻟﻐﻀﺐ:ﺗﻐﻴﺮ
ﻳﺤﺼﻞ ﻋﻨﺪ ﻏﻠﻴﺎﻥ ﺩﻡ ﺍﻟﻘﻠﺐ
ﻟﺸﻬﻮﺓ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻡ,ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ
ﻫﺬﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺤﺎﻝ,
ﻟﻜﻦ ﻫﻬﻨﺎ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﻛﻠﻴﺔ,
ﻭﻫﻲ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﻋﺮﺍﺽ
ﺍﻟﻨﻔﺴﺎﻧﻴﺔ ﺃﻋﻨﻲ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ,
ﻭﺍﻟﻔﺮﺡ,ﻭﺍﻟﺴﺮﻭﺭ,ﻭﺍﻟﻐﻀﺐ,
ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺀ,ﻭﺍﻟﻐﻴﺮﺓ,ﻭﺍﻟﻤﻜﺮ
ﻭﺍﻟﺨﺪﺍﻉ,ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﺮ,ﻭﺍﻻﺳﺘﻬﺰﺍﺀ
ﻟﻬﺎ ﺃﻭﺍﺋﻞ,ﻭﻟﻬﺎ
ﻏﺎﻳﺎﺕ,ﻭﻣﺜﺎﻟﻪ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻓﺈﻥ
ﺃﻭﻟﻪ ﻏﻠﻴﺎﻥ ﺩﻡ ﺍﻟﻘﻠﺐ,
ﻭﻏﺎﻳﺘﻪ ﺇﺭﺍﺩﺓ ﺇﻳﺼﺎﻝ ﺍﻟﻀﺮﺭ
ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻪ,ﻓﻠﻔﻆ
ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ
ﻳﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻭﻟﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ
ﻏﻠﻴﺎﻥ ﺩﻡ ﺍﻟﻘﻠﺐ,ﺑﻞ ﻋﻠﻰ
ﻏﺎﻳﺘﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺇﺭﺍﺩﺓ
ﺍﻷﺿﺮﺍﺭ,ﻭﺃﻳﻀﺎ,ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻟﻪ
ﺃﻭﻝ ﻭﻫﻮ ﺍﻧﻜﺴﺎﺭ ﻳﺤﺼﻞ ﻓﻲ
ﺍﻟﻨﻔﺲ,ﻭﻟﻪ ﻏﺮﺽ ﻭﻫﻮ ﺗﺮﻙ
ﺍﻟﻔﻌﻞ,ﻓﻠﻔﻆ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻓﻲ ﺣﻖ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻻ
ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻜﺴﺎﺭ ﺍﻟﻨﻔﺲ,ﻭﻫﺬﻩ
ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺷﺮﻳﻔﺔ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺒﺎﺏ.ﺗﻔﺴﻴﺮ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ,
ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ/ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ

(2) ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻲ}ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ
ﺗﻐﻴﺮ ﻭﺍﻧﻜﺴﺎﺭ ﻳﻌﺘﺮﻱ
ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ
ﻣﻦ ﺧﻮﻑ ﻣﺎ ﻳﻌﺎﺏ ﺑﻪ ﻭﻳﺬﻡ
ﻋﻠﻴﻪ.ﻭﻗﻴﻞ ﻫﻮ ﺍﻧﻘﺒﺎﺽ
ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺒﺎﺋﺢ ﻫﺬﺍ ﺃﺻﻠﻪ
ﻓﻲ ﻭﺻﻒ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ,ﻭﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﻓﺈﺫﺍ
ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻪ ﻳﻜﻮﻥ
ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﻟﺘﺮﻙ,ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻟﻜﻞ
ﻓﻌﻞ ﺑﺪﺍﻳﺔ ﻭﻧﻬﺎﻳﺔ,ﻓﺒﺪﺍﻳﺔ
ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﻐﻴﺮ
ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻠﺤﻖ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ
ﺧﻮﻑ ﺃﻥ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺫﻟﻚ
ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﻘﺒﻴﺢ,ﻭﻧﻬﺎﻳﺘﻪ ﺗﺮﻙ
ﺫﻟﻚ
ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﻘﺒﻴﺢ,ﻓﺈﺫﺍ ﻭﺭﺩ
ﻭﺻﻒ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻠﻴﺲ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻨﻪ
ﺑﺪﺍﻳﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺘﻐﻴﺮ ﻭﺍﻟﺨﻮﻑ,
ﺑﻞ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻨﻪ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻔﻌﻞ
ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ
ﻭﻏﺎﻳﺘﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ
ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻲ ﺃﻥ ﻳﻀﺮﺏ ﻣﺜﻼ ﺃﻱ
ﻻ ﻳﺘﺮﻙ ﺍﻟﻤﺜﻞ ﻟﻘﻮﻝ
ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻭﺍﻟﻴﻬﻮﺩ.ﺗﻔﺴﻴﺮ ﻟﺒﺎﺏ
ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻓﻲ ﻣﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﺘﻨﺰﻳﻞ/
ﺍﻟﺨﺎﺯﻥ

Minggu, 15 Mei 2011

Perbedaan aqidah wahabi dan islam'' bag: II

Berikut adalah beberapa kutipan DARI PARA Ulama, MEREKA bersaksi bahwa:
1-IMAM IBNU HAJAR Al Asqalaaniyy mengatakan mereka bukan muslim:
ﻗﺎﻝ ﺣﺬﺍﻕ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺷﺒﻬﻪ ﺑﺨﻠﻘﻪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻴﺪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻓﻤﻌﺒﻮﺩﻫﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺒﺪﻭﻩ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﺳﻤﻮﻩ ﺑﻪ (ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ,ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﻧﻲ,ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ- ﺑﻴﺮﻭﺕ,1379, 3/359 )
: Para ulama AHLI kalaam brilian berkata: "BARANG-SIAPA menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya, atau MENYANDARKAN TANGAN KEPADA-Nya (dalam arti bagian atau anggota TUBUH) atau MENYANDARKAN seorang anak, MAKA yang ia SEMBAH BUKANLAH Allah,
WALAU PUN ia menyebutnya
Allah .
2-An-Nawawiyy dan Al-Qaađi IYAđ mengatakan mereka bukan muslim:
ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ(ﻓﻠﻴﻜﻦ ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﺧﺒﺮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮﻩ)ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻬﻢ ﻟﻴﺴﻮﺍ ﺑﻌﺎﺭﻓﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺣﺬﺍﻕ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺃﻧﻬﻢ ﻏﻴﺮ ﻋﺎﺭﻓﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﺒﺪﻭﻧﻪ ﻭﻳﻈﻬﺮﻭﻥ ﻣﻌﺮﻓﺘﻪ ﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﻛﺬﺏ ﺭﺳﻮﻻ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺷﺒﻬﻪ ﻭﺟﺴﻤﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﺃﻭ ﺍﺟﺎﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺒﺪﺍﺀ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺼﺎﺣﺒﺔ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﺃﺟﺎﺯ ﺍﻟﺤﻠﻮﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺍﻻﻣﺘﺰﺍﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺃﻭ ﻭﺻﻔﻪ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﻠﻴﻖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺸﺮﻳﻚ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻧﺪ ﻓﻲ ﺧﻠﻘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ ﻭﺍﻟﺜﻨﻮﻳﺔ ﻓﻤﻌﺒﻮﺩﻫﻢ ﺍﻟﺬﻯ ﻋﺒﺪﻭﻩ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﺳﻤﻮﻩ ﺑﻪ ﺍﺫ ﻟﻴﺲ ﻣﻮﺻﻮﻓﺎ ﺑﺼﻔﺎﺕ ﺍﻻﻟﻪ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺔ ﻟﻪ ﻓﺎﺫﻥ ﻣﺎ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻓﺘﺤﻘﻖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻨﻜﺘﺔ ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻗﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻰ ﺃﺷﻴﺎﺧﻨﺎ ﻭﺑﻬﺎ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﺑﻮﻋﻤﺮﺍﻥ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻰ ﺑﻴﻦ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻘﻴﺮﻭﺍﻥ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺎﺯﻋﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻫﺬﺍ ﺁﺧﺮ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ. (ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺠﺎﺝ, ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ,ﺩﺍﺭ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﺘﺮﺍﺙ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ, 1392,1/199-200 )
Perkataan Nabi (ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ) "YANG PALING pertama MESTI ENGKAU LAKUKAN ADALAH MENGAJAK mereka untuk menyembah Allah, maka ketika mereka tahu Allah, MAKA beritahuKAN mereka ..DST dll'', Al-Qaađii Iiaađ (ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ) mengatakan: " pernyataan Nabi (ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ) INI menunjukkan bahwa mereka (Kristen) tidak tahu Allah, ini adalah perkataan para ulama kalaam brilian mengenai orang Yahudi dan Nasrani bahwa mereka tidak tahu Allah (ﺗﻌﺎﻟﻰ ) WALAU PUN mereka menyembah- Nya (panggilan yang mereka menyembah dengan nama-Nya) dan MENampakAN seolah-olah mereka mengenal-Nya,berdasarkan apa yang mereka ceritakan DAN MEREKA DENGAR DI antara mereka sendiri, meskipun bukan tidak mungkin MENURUT AKAL bahwa seseorang yang mendustakan RASUL DAPAT MENGETAHUI Allah. " Al-Qaađii Iiaađ (ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ) mengatakan: BARANG SIAPA
menyamakan Allah dengan
ciptaan-Nya, SEPERTI diyakini orang Yahudi dan Kristen, atau percaya bahwa Dia BERUBAH dari waktu ke waktu, atau diklaim Dia memiliki anak,
atau MEMILIKI seorang perempuan pendamping dan anak, atau mengatakan dia bisa ada dalam hal-hal yang diciptakan, atau BERPindah dari satu tempat
ke tempat lain, atau BERcampur dengan ciptaan, SEPERTI KEYAKINAN di antara orang-orang Kristen, atau dikaitkan dengan-Nya apa yang tidak pantas, atau berhubungan dengan-Nya mitra atau lawan dalam menciptakan SEPERTI KEYAKINAN Majusi DAN PENYEMBAH BERHALA, MAKA apa yang mereka sembah BUKANLAH Allah,WALAU PUN mereka menyebutnya ALLAH. Hal ini karena tidak dikaitkan SIFAT yang SESUAI PADA-Nya, Oleh karena itu, mereka tidak tahu Allah (ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ), maka sadarilah hal ini dengan baik, dan bergantung padanya, dan aku telah melihat titik ini dibuat oleh syekh pendahulu kita."
3-Ar-Raaziyy mengatakan
mereka bukan muslim:
ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺩﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﺍﻹﻟﻪ ﺟﺴﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻜﺮ ﻟﻺﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺇﻟﻪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻟﻴﺲ ﺑﺠﺴﻢ ﻭﻻ
ﺣﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﺃﻧﻜﺮ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻮﺟﻮﺩ ﻓﻘﺪ ﺃﻧﻜﺮ ﺫﺍﺕ ﺍﻹﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺎﻟﺨﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ
ﻭﺍﻟﻤﻮﺣﺪ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﺑﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﺍﺕ ﻓﺼﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﻜﻴﺘﻤﻮﻫﺎ ﻓﻬﻲ ﺍﺧﺘﻼﻓﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﻓﻈﻬﺮ
ﺍﻟﻔﺮﻕ ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻟﺰﺍﻡ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺤﻠﻮﻟﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺮﻭﻓﻴﺔ ﻓﻨﺤﻦ ﻧﻜﻔﺮﻫﻢ ﻗﻄﻌﺎ ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﻔﺮ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺑﺴﺒﺐ ﺃﻧﻬﻢ ﺍﻋﺘﻘﺪﻭﺍ ﺣﻠﻮﻝ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻋﻴﺴﻰ ﻭﻫﺆﻻﺀ ﺍﻋﺘﻘﺪﻭﺍ ﺣﻠﻮﻝ ﻛﻠﻤﺔ
ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻟﺴﻨﺔ ﺟﻤﻴﻊ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ ﺍﻟﺘﻲ ﻛﺘﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ
ﺣﻖ ﺍﻟﺬﺍﺕ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻓﻸﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﺨﺎﺹ ﻭﺍﻷﺟﺴﺎﻡ ﻣﻮﺟﺒﺎ
ﻟﻠﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻟﻰ(ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ-ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ,16/ 24)
"Bukti memberitahu kita bahwa ORANG yang mengatakan Tuhan adalah JISIM / tubuh adalah kafir KEPADA Tuhan (MAHA TINGGI ALLAH), Alasannya KARENA TUHAN SEMESTA ALAM bukanLAH tubuh, atau ditempatkan di tubuh. Jadi jika orang yang percaya bahwa Tuhan adalah tubuh, DAN menolak keberadaan non-fisik, maka dia telah kafir kepada Tuhan ITU sendiri. Artinya bahwa PERBEDAAN antara yang percaya bahwa Tuhan adalah JISIM tubuh, dan monoteis (dalam arti Islam) BUKAN DALAM MASALAH SIFAT tetapi tentang DZAT-NYA (yaitu SESUATU identitas YANG dikaitkan dengan Ketuhanan.) DENGAN Ini, DI katakan, bahwa orang yang percaya bahwa Tuhan adalah tubuh,MAKA IA tidak percaya pada Allah ....
Ada pun ĥuluuliyyah (mereka yang percaya bahwa Allah berdiam dalam hal-hal yang diciptakan)
seperti DI langit atau DALAM tubuh manusia ATAU DI CIPTAAN LAINNYA )dan JUGA ĥuruufiyyah (mereka yang percaya bahwa SIFAT KALAM Allah terdiri dari huruf dan
suara), kita mengatakan
DENGAN TEGAS bahwa mereka kafir. Hal ini karena Allah menyatakan kristen KAFIR KARENA percaya
bahwa KALAM Allah itu ada PADA DIRI Yesus, sedangkan
ĥuruufiyyah percaya bahwa
KALAM ALLAH berdiam di lidah semua orang yang membaca Al-Qur'an, dan
dalam segala hal fisik yang ditulisKAN ALQURAN. Oleh karena itu, jika keyakinan dalam KALAM ALLAH ADA dalam satu tubuh (Yesus) merupakan KEKAFIRAN,maka lebiH KAFIR LAGI ORANG YANG percaya bahwa KALAM ALLAH berdiam dalam segala bentuk dan tubuh. "
4-IMAM As-Subkiy menyebut
mereka penyembah berhala:
As-Subkiyy DALAM Tabaqatu Sħafi'IyaH AL Kubraa MENJELASKAN tentang teks-teks Al kitab yang DOHIRnya MENUNJUKAN MAKNA JISIM / tubuh:
ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ:ﺇﻧﻤﺎ
ﺍﻟﻤﺼﻴﺒﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻭﺍﻟﺪﺍﻫﻴﺔ ﺍﻟﺪﻫﻴﺎﺀ ﺍﻹﻣﺮﺍﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻭﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﻓﺬﻟﻚ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻮﺛﻦ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺯﻳﻎ ﻳﺤﻤﻠﻬﻢ ﺍﻟﺰﻳﻎ ﻋﻠﻰ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ ﺍﺑﺘﻐﺎﺀ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻌﺎﺋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺘﺮﻯ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺑﻌﺪ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﺎ ﺃﺟﺮﺃﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻭﺃﻗﻞ ﻓﻬﻤﻬﻢ ﻟﻠﺤﻘﺎﺋﻖ
ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺝ 5 ﺹ 192
:"SUNGGUH MUSIBAH BESAR DAN KEKELIRUAN YANG SANGAT KELIRU ADALAH MENJALANKAN DOHIRNYA (TEKS MUTASABEHAT) DAN MENG'ITIQADKAN BAHWA DOHIRNYA ITU YANG DI MAKSUD DAN MENYATAKAN HAL ITU TIDAK MUSTAHIL BAGI ALLAH, INI ADALAH YANG dikatakan mujassimah (anthropomorphists)
penyembah berhala,mereka fokus pada ayat- ayat ambigu...DST"
5-Al-Qurţubiyy dan Ibn Al-
arabiyy BERKATA:
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺘﻜﻔﻴﺮﻫﻢ,ﺇﺫ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﻮﺭ.
Demikian pula, Al-Qurtubīy dalam komentarnya DALAM TAFSIR Qur'an meriwayatkan KEPADA beliau, Syaikh Ibnu Al-'Arabīy mengenai orang-orang yang mengatakan ALlah BERUPA JISIM / FISIK: "KEPutusan PENDAPAT YANG SOHEH adalah mereka KAFIR,
karena tidak ada perbedaan
antara mereka dan orang-orang yang menyembah berhala dan gambar. " (Tafsiir Al-Qurţubiyy,4 / 14).

KESIMPULAN: Mereka yang menyamakan Allah DENGAN ciptaan ada 2 jenis,
1] Orang yang benar-benar percaya bahwa ta'ala Allahu
adalah ADALAH bentuk atau
gambaR FISIK, seperti yang
di YAKINI oleh sekte MujassimaH,INI tidak di ragukan lagi, BAHWA MEREKA kafir.
2] Mereka yang berpegang pada makna literal dari Wajh, yaad, ain dll untuk Allah, dengan mengatakan seperti yang LAYAK untuk-Nya, tanpa meNYamakan DENGAN FISIK, seperti SEKTE YANG SEKARANG ADA YAITU SEKTE Wahabis,MAKA INI hanya Ahlul Bid'aH dan tidak KAFIR..
kelompok YANG 1, Tuhan DALAM imajinasi mereka, seperti yang diperjelas oleh ulama besar Islam juga oleh Imam Hujjathul Islam Abu Hamid al-Ghazali.Rah, dalam KITABnya 'Iljamul Awam'.
". Dalam bentuk atau gambar Manusia" Tidak hanya ITU, PERKATAAN Al-
Ghazaaliy JUGA dalam IljaamuL AWAM-- adalah:
ﺃﻋﻨﻲ ﺑﺎﻟﺠﺴﻢ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﻣﻘﺪﺍﺭ ﻟﻪ ﻃﻮﻝ ﻭﻋﺮﺽ ﻭﻋﻤﻖ
".YANG Saya maksud dengan tubuh ADALAH kuantitas yang memiliki panjang, lebar dan kedalaman" Kemudian ia berkata:
ﻣﻦ ﻋﺒﺪ ﺟﺴﻤﺎ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺍﻟﺨﻠﻒ
"BARANG SIAPA menyembah
JISIM,MAKA DIA adalah KAFIR MENURUT konsensus ULAMA, baik generasi SALAF ATAU PUN KHOLAF.".
WALLAHU A'LAM.

Imam Ahmad,andalan wahabi mentakwil

IMAM AHMAD,IMAM ANDALAN
WAHABI MENTAKWIL

Imam ibnu taemiyah SYAEKHUL ISLAM berkata:
ﺁﻧﻤﺎ ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﺍﻣﺮﺍﺭ ﺍﻟﻨﺼﻮﺹ ﻭﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﻋﻠﻲ ﻇﺎﻫﺮﻫﺎ :
BAhwA manhaj imam ahmad bin hambal dlm aqidah adAlAh menjalankan nas dan tafsir diatas arti dohirnya.pEndpAt ini di ikuti muqolidnya.
MARI Kita cek pEndApAt imam ahmad RA dlm aqidah,hususnya tntg ayat2 sifat / mutasyabih.
1-ﻭﺭﻭﻱ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻲ ﻋﻤﺮﻭ ﺁﺑﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﻙ ﻋﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺁﻥ ﺁﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺗﺂﻭﻝ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ:ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ (ﺍﻟﻔﺠﺮ٢٢)، ﺁﻧﻪ ﺟﺎﺀ ﺛﻮﺍﺑﻪ-ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ:ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻻ ﻏﺒﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ :
Meriwayatkan albaehaqi dari alhakim dari abi amr ibnu samak dari hambal: ssungguhnya imam ahmad bin hambal mentakwil firman allah (ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ QS ALFAJR 22): TElah datang tuhanmu' DI TAKWIL dENgAn ﺟﺎﺀ ﺛﻮﺍﺑﻪ : tElah datang 'balasan' tuhanmu. berkata albaihaqi: sanad ini tdk ada debu sdkt pun (soheh)
(al bidayah wa nihayah kry ibnu katsir 10/354)
2-ﻣﺎ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺗﺂﻭﻳﻠﻪ ﻛﮕﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ (ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ) ﺁﻯ ﺟﺎﺀ ﺁﻣﺮﻩ ﻭ ﻗﺪﺭﺗﻪ، ﻗﺎﻝ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ :ﻭﺁﻧﻤﺎ ﺻﺮﻓﻪ ﺍﻟﻲ ﺫﺍﻟﻚ ﺁﺩﻟﺔ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻓﺂﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ
--------------
ﺛﺒﺖ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﺂﻭﻳﻞ ﻋﻦ ﺍﻵﻣﺎﻡ ﺍﺣﻤﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻈﺎﻫﺮ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﺑﺎﻵﻧﺘﺴﺎﺏ ﺁﻟﻴﻪ،ﺩﺑﺎﻵﺱﻧﺎ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻣﺎﻡ ﺁﺣﻤﺪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
(ﻣﺨﻄﻮﻁ)ﻭ ﻗﺪ ﻧﻘﻠﻬﺎ ﺁﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺪﺍﻳﺔ ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ﺑﺴﻨﺪ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻲ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺁﺣﻤﺪ :

:Diantara yg mesti ditakwil sprti firman allah;ﻭﺟﺎﺀ ﺭﺑﻚ،ﺍﻱ ﺟﺎﺀ ﺁﻣﺮﻩ ﻭ ﻗﺪﺭﺗﻪ-
: tElah datang robmu,yakni
urusan dan kekuasaanNYA,dan berkata imam ahmad: dipalingkannya kEpAda takwil kArEna sEcAra akal bAhwA Allah tdk berpindah tempat (serupa mahluk)
------
TElAh tetap takwil dari imam ahmad yg dijadikan sandaran oleh kaum mujasimah, riwayat diatas
sanadnya soheh di ktb manaqib imam ahmad dgn tulisan alhafid albaihaqi,jg tlah dinuqil oleb ibnu kasir dlm albidayah wan nihayah
dgn sanad albaihaqi jg dari imam ahmad (daf'u syubha tasybih- alhafid abul faroh ibnul jauzi hal 110)
>berkata ad dzahabi dlm ktb syiar alam nubala 13/52: maksud hanbal
yg mnerima dari imam ahmad adlh hambal bin ishaq bin hambal bin hin hilal seorg yg hafid dan muhadis yg jujur,bliau kponakan imam ahmad jg muridnya.
dan berkata al khotibi: beliau adlh Tsiqoh dan tsabit, beliau menerima byk
dari imam ahmad.

>tlah menuqil abil fadhl at tamimi dlm ktbnya (i'tiqod imam ahmad 38-39) dari imam ahmad ssungguhnya beliau berkata:
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺗﻐﻴﺮ ﻭﻻ ﺗﺒﺪﻝ ﻭﻻ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻗﺒﻞ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭﻻ ﺑﻌﺪ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻌﺮﺵ، ﻳﻨﻜﺮ ﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﻭﻛﺎﻥ
ﺁﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﺑﺬﺍﺗﻪ ﻵﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻻﻣﻜﻨﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﺤﺪﻭﺩﺓ

:Dan allah tdk terkena perobahan jg pergantian,dan tdk terikat batas sblm mencipta arasy atau sesudahnya .brkta pula abul
fadhl: dan beliau INKAR TERHADAP ORANG YG BERKATA ALLAH ADA DISETIAP
TEMPAT MANA PUN DENGAN DZATNYA,KARENA SEMUA TEMPAT TERIKAT BATASAN (I'TIQAD IMAM AHMAD 38-39)
BERKATA ABUL FADHL AT TAMIMI PEMIMPIN MADHAB HAMBALI DI BAGDAD DLM KTB I'TIQAD IMAM AHMAD HAL 45 :DARI IMAM AHMAD, BELIAU INKAR TRHADAP ORANG YG BERKATA BAHWA ALLAH JISIM/ MATERI,DAN BELIAU BERKATA BAHWA ASMA DAN
SIFAT ALLAH DIAMBIL DARI SYARIAT DAN JUGA DARI LUGOT (BAHASA),DAN AHLI
LUGOT MENSIFAT DGN ASMA ALLAH DENGAN UKURAN
PANJANG, LEBAR, TEMPAT DAN TERSUSUN (TARKIB), RUPA DAN KETERKAITAN,PADAHAL ALLAH TDK SEPERTI ITU,MAKA TIDAK BOLEH MENAMAI DENGAN KEJISIMAN DAN TIDAK BERLAKU DALAM SYARIAT HAL TERSEBUT.JUGA PERKATAAN INI DI NUQIL OLEH ALHAFID ALBAEHAQI DALAM KITAB MANAQIB IMAM AHMAD HAL 42.
JADI KESIMPULANNYA IBNU TAI-MIYAH ROHIMAHULLAH BERDUSTA MANING..!
JAZALLOHU AN IMAM AHMAD WA AN NABIYINA MUHAMAD SAW MA HUWA AHLUH..AMIIN..

Membongkar dusta wahabi terhadap Imam abu hanifah

MEMBONGKAR DUSTA WAHABI
TERHADAP PERKATAAN YANG DISANDARKAN PADA ABU HANIFAH RA. TENTANG ALLAH DI ARASY.

Wahabi menyandarkan aqidahnya SESATNYA pada perkataan imam Abu hanifah yg terdapat dalam
syarah Fiqh al akbar hal 197-198 pensyarahnya adalah mula ali alqori, perkataan tersebut :
Diriwayatkan dari Abi Muthi’ al balkhi, sesungguhnya ia bertanya pada imam Abu hanifah RA tentang orang yang berkata :
‘Aku tidak tau apakah tuhanku dilangit atau dibumi ? , maka Beliau menjawab : Org tersebut telah KAFIR ! Karena Allah Taala berfirman :” Allah yang maha Rohman istawa diatas arasy (QS. THOHA) Dan arasnya diatas 7 langitnya', bagaimana kalau ia bertanya: ‘Allah diatas arasnya tapi aku tidak tahu apakah arasnya di langit atau di bumi, maka Beliau menjawab lagi: Orang itu telah kafir karena ia inkar akan adanya Allah dilangit,
sebab Allah diatas iliyiin (Abu
Hanifah).

KITA JAWAB :
Riwayat ini dusta dan batil,dan seolah menyatakan haqiqat dzat Allah diatas langit,dan ini dibuat- buat atas imam abu hanifah Sebab:
1-Riwayat tersabut tidak ada dalam matan fiqhul akbar (karya abu hanifah), tetapi termasuk dalam masalah yang dicantumkan oleh
pensyarah kitab tersabut yaitu Mula ali alqori.
2-DAN perowinya yaitu Abu muthi’ albalkhi sebagaimana dikatakan oleh ibnu abi al izzi bin abdissalam di dlm syarah at thohawi juz
2/480 menukil perkataan dari ibnu katsir: adapun abu muthi yaitu alhakam bin abdillah bin maslamah albalkhi tlah di doifkan oleh:
Imam ahmad bin hambal juga yahya bin ma’in berkata : tdk ada apa-apanya, juga al bukhori berkata dia dhoif dengan pemikirannya,juga didoifkan oleh hatim ar razin, muhamad bin hiban,ibnu adi
dan darqutni juga oleh yg lainnya.

TELAH Berkata syekh musthofa abu saif alhamami dalam kitabnya (gaus al ibad bibayani arrosyad hal 341-342)‘ dari penjelasn ini kita simpulkan 3 hal:
1-riwayat ini tidak ada dalam fiqh al akbar imam abu hanifah,tetapi hanya dinukil oleh penukilnya atas
nama abu hanifah dengan
menyandarkan pada kitab beliau FIQH AL AKBAR, dan itu kebohongan dan bid’ah aqidah.
2-perowinya dicela karena
pemalsu maka tidak halal
bersandar dengan riwayatnya dalam hukum furu, apalagi hukum usul, maka mengambil riwayatnya adalah khiyanat.
3-perowi ini telah divonis berdusta atas nama abu hanifah RA oleh imam izudin abdussalam seorang ulama yang tsiqoh.

Nah jika diperkirakan riwayat itu benar ???
Maka telah menjawab syaikh imam izudin bin abdsalam dalam kitab hillur rumuz seperti di nuqilkan oleh imam ali qori dalam
syarahnya fiqh akbar hal 271, berkata imam izzu : bahwa orang yang berkata ‘saya tidak tahu apakah Tuhan dilangit atau dibumi
dihukumi kafir’, karenA ucapan tersebut memberi prasangka bahwa Allah bertempat dan berarah, barang siapa berfikiran
seperti itu, maka ia adalah
musyabih.
BERKATA MULA ALI ALQORI BAHWA IMAM IZUDIN BIN ABDISALAM ADALAH SEORANG ULAMA YANG UTAMA DAN
TERPERCAYA.
PELAJARAN DARI UCAPAN
DIATAS BAHWA IMAM IZUDIN BIN ABDISALAM BERKATA: KUFURNYA ORANG YANG BERKATA DENGAN UCAPAN DIATAS KARENA MENJADIKAN ALLAH DIBATASI ARAH DAN TEMPAT, KETIKA ADA PADA
ARAH DAN TEMPAT MAKA ALLAH BUTUH PADA YANG MENCIPTANYA, DENGAN TIDAK RAGU LAGI, JADI MAKSUDNYA TIDAK SEPERTI YANG DISANGKA OLEH KAUM MUSYABIH YANG MENYATAKAN ALLAH BERTEMPAT DIARASY DI ATAS
LANGIT DENGAN HUJAH PERKATAAN IMAM ABU HANIFAH, PADAHAL SEBAGAIMANA TADI DIJELASKAN BAHWA PEROWINYA PENDUSTA
MENURUT AHLI HADIS, DAN IMAM ABU HANIFAH TELAH MENJELASKAN DI BANYAK HALAMAN DALAM KITABNYA
BAHWA ALLAH TIDAK BERTEMPAT DAN BERARAH, CONTOH :
IMAM ABU HANIFAH BERKATA DALAM KITABNYA ALWASIYAT HAL 61, SEPERTI JUGA DI NUQIL DALAM SYARAH FIQH AL AKBAR : KAMI MENETAPKAN AYAT TENTANG
ALLAH ALA AL-ARSY ISTAWA’
DENGAN TIDAK MEMBUTUHKAN ARASYNYA DAN TIDAK MENETAP,JUSTRU ALLAH YANG MENJAGA ARASY DAN YANG LAINYA,SEANDAINYA ALLAH MEMBUTUHKANNYA, TIDAK LAH ALLAH AKAN KUASA MENCIPTA ALAM DAN MENGATURNYA, SAMA SEPERTI MAHLUKNYA, MAKA ALLAH MAHA SUCI DARI HAL TERSEBUT.

ADAPUN PERKATAAN IBNU QOYYIM DALAM KITAB NUNIYAH-NYA BAHWA BERKATA NU’MAN (ABU HANIFAH) DAN JUGA ABU YUSUF, ADAPUN UCAPAN NU’MAN YAITU BARANG SIAPA TIDAK MENETAPKAN ALLAH
BERADA DI ARASYNYA DIATAS
LANGITNYA, DIATAS SEGALA
SESUATU, MAKA TIDAK RAGU LAGI TELAH KAFIR TRHADAP ALLAH’,INILAH PERKATAAN DALAM FIQH AL AKBAR JUGA DLM BEBERAPA SYARAHNYA (IBNU QOYYIM-RED).
NAH ITU KEBOHONGAN TERHADAP IMAM ABU HANIFAH RA, SEBAGAIMANA TADI DIJELASKAN BAHWA PERKATAAN ITU TIDAK ADA DALAM FIQH AL AKBAR, DAN KITAB FIQH AL AKBAR ADA DI
DEPAN KAMI DAN BISA DICARI, TOH GAK ADA UCAPAN TERSABUT, JUGA TIDAK TERDAPAT JUGA PERKATAAN
IMAM ABU YUSUF (TEMAN IMAM ABU HANIFAH RA)

TELAH BERKATA SYEIKH MUSTOFA AL HAMAMI DARI ULAMA AZHAR‘TIDAK RAGU LAGI INI ADALAH KEDUSTAAN,
JUGA BERKATA AL KAUTSARI DALAM KITAB TAKMILAH-NYA HAL 108.

MUNGKIN WAHABI MASIH BANTAH HUJAH DI ATAS, DENGAN APA YG DI SEBUTKAN OLEH AD DZAHABI KETIKA MENUKIL DARI IMAM BAEHAQI DALAM KITABNYA AL ASMA WA SIFAT, YAITU ‘MERIWAYATKAN ALBAIHAQI
BAHWA ALLAH DIATAS LANGIT
DENGAN RIWAYAT YANG
DISANDARKAN KEPADA ABU HANIFAH DALAM ASMA WA SIFAT HAL 429, DAN SETELAH UNGKAPAN TERSEBUT, BELIAU (ALBAI HAQI) BERKATA: IN SOHAT ALHIKAYAT: KALO HIKAYAT INI SOHEH’ , NAH
UCAPANNYA INI MENUNJUKAN
BAHWA IMAM DZAHABI LUPA ATAS QAYID PENTING YANG DI
ISYARAHKAN ALBAIHAQI YAITU
UCAPAN: ''IN SOHAT ALHIKAYAT'', PADAHAL INI ISYARAH YANG KUAT BAHWA DALAM RIWAYAT TERSEBUT
BANYAK CACAT SEPERTI DIKATAKAN OLEH SYAIKH AL KAUSARI DALAM KITAB TAKMILAHNYA HAL 180.
DAN IMAM ALBAIHAQI MENYEBUTKAN DALAM BANYAK TEMPAT DI DALAM
KITAB ASMA WA SIFAT NYA BAHWA ALLAH DISUCIKAN DARI TEMPAT DAN BATASAN, CONTOH:
1 BERKATA ALBAIHAQI: TELAH
BERDALIL SAHABAT-SAHABAT KAMI UNTUK MENAFIKAN TEMPAT BAGI ALLAH DENGAN HADIST:” ENGKAU YANG DOHIR MAKA TIDAK ADA SESUATU DIATASMU, DAN ENGKAU YG BATIN MAKA TIDAK ADA SESUATU DIBAWAHMU (HR. MUSLIM) (KITAB AL ASMA WA AS SIFAT HAL 400)“
2 BERKATA ALBAIHAQI:
SESUNGGUHNYA ALLAH TA’ALA TIDAK BERTEMPAT, KARENA BERGERAK, DIAM DAN BERTEMPAT ADALAH SIFAT JISIM/BENDA DAN ALLAH MAHA ESA ADALAH TEMPAT
BERSANDAR DAN TIDAK ADA YANG SEMISAL DENGANNYA. (KTB AL ASMA WA AS SIFAT HAL 448-449)
MAKA JELAS KLAIM MEREKA BAHWA ALLAH BERTEMPAT DIATAS ARAS DENGAN BERSANDARKAN KALAM ABU HANIFAH ADALAH BATHILL…!!!

Takwil dan Ta'thil ??

Pertanyaan: Para Salafi
berpendapat bahwa dengan
memberikan interpretasi
figuratif (TAKWIL) TERHADAP SIFAT Allah, SAMA DENGAN melakukan ta'teel !?!

Jawaban: Ta'teel adalah MEN0LAK suatu SIFAT yang LAYAK menjadi SIFAT ALLAH. Perhatikan bahwa SIFAT
disebutKAN oleh sebuah kata ATAU KALIMAT, seperti
SIFAT "ilmU" ARTINYA "pengetahuan." Kadang-kadang sebuah kata memiliki lebih dari satu
arti (TEKS MUTASYABIHAT). Jika KATA ATAU KALIMAT DALAM TEKS MUTASABIHAT INI DI Tetapkan mengacu pada SIFAT ALLAH, maka pertanyaan berikutnya adalah apa arti yang sesuai ?? Jika seseorang memilih arti fisik, seperti anggota badan, maka ia berkomitmen tasYbih: MENYERUPAKAN ALLAH DENGAN MAHLUK. Jika ia memilih arti yang layak BAGI Allah, maka dia percaya BAHWA Allah TIDAK MEMILIKI
kemiripan DENGAN ciptaan,
DIA memahami firman Allah YANG JELAS (TEKS MUHKAMAT) YANG menegaskan tidak ada yang menyerupai Allah. MAKA bagaimanapun, KITA MESTI MEMILIH MAKNA YANG SELARAS dengan teks lain YANG benar-benar jelas atau DENGAN MEMILIH konsensus ilmiah (IJMA), dan JIKA SESEORANG mengabaikan TEKS YANG JELAS (MUHKAMAT) ATAU MENENTANG IJMA, maka ini
adalah bentuk PENAFIAN TERHADAP SIFAT ALLAH atau ta'teel.
Sebagai contoh, Mu `tazilah
mengabaikan konsensus ilmiah bahwasanya ALLAH DAPAT dilihat oleh kaum Muslim di akhirat TANPA ALLAH berada di suatu tempat jauh ATAU DEKAT, TIDAK memiliki bentuk, atau berada di arah. ''YAITU melihat yang berbeda dari PENGLIHATAN yang KITA
gunakan untuk MELIHAT dalam KEhidupAN ini, karena Allah tidak menyerupai ciptaan-Nya''.
Mereka (MU'TAZILAH) menolak konsep melihat tanpa ADANYA SESUATU ITU terlihat DI SUATU TEMPAT, dan MEREKA mengatakan bahwa MAKSUD melihat di sini ADALAH "mengharapkan," atau "mengetahui," atau MAKNA sejenisnya. Ini adalah ta'wil yang mencapai tingkat ta'teel, karena bahwasanya MEREKA memberikan arti lain daripada melihat YANG MERUPAKAN SESUATU SIFAT DALAM TEKS YANG JELAS (MUHKAMAT). Para ulama Sunni mengatakan kepada mereka (MU'TAZILAH) "Mengapa KALIAN HANYA mengatakan bahwa Allah TIDAK terlihat tanpa ALLAH MENEMPAT di suatu tempat, TIDAK BERubah atau memiliki batas?! sebagaimana kita katakan bahwa Allah tahu dan menghendaki APA PUN tanpa BERADA di suatu tempat, TIDAK MENGALAMI PErubahan DAN TIDAK memiliki batas ??!"
KAUM mushabbihah SELARAS dengan Mu `tazilAH bahwa tidak BISA melihat tanpa berada DI SUATU TEMPAT, PERBEDAANNYA ADALAH: Mu` tazilah MENta'wil untuk melarikan diri dari tasYbih: MENYERUPAKAN DARI MAHLUK, atau UNTUK MENAFIKAN batas kepada Allah, SEDANGKAN KAUM mushabbihah mengatakan bahwa Allah terlihat dalam arah dan MENEMPAT di SUATU TEMPAT, sehingga menghubungkan batasAN KEPADA ALLAH. Yang DI lakukan Mu `tazilah bodoh
dan CEROBOH, sementara itu KAUM mushabbihah ADALAH kafir polos.

NAH DARI PAPARAN DI ATAS,MAKA ISTILAH TA'TIL TDK BISA DI HUBUNGKAN DENGAN KONSEP TAKWIL DALAM MASALAH TEKS MUTASYABIHAT, MEMANG HAL INI BID'AH ARTINYA TIDAK DILAKUKAN SALAF, TETAPI ITU DILAKUKAN UNTUK MENCEGAH BIDAH YANG LEBIH BESAR YAITU MUNCULNYA BIDAH AQIDAH MUJASIMAH / MUSYABIHAH, INILAH ALASAN MENGAPA MAYORITAS ULAMA KHOLAF MENTAKWIL TEKS MUTASYABIHAT..!
NAH KEMUDIAN ISTILAH TA'TIL DIMUNCULKAN TERHADAP CARA ULAMA KHOLAF YANG MENTAKWIL MUTASABIHAT, ATAU MENUDUH MEREKA SEBAGAI JAHMIYAH, INI PERTAMA KALI DI LEMPARKAN OLEH IBN TAI-MIYAH YANG SAMPAI SEKARANG DI IKUTI OLEH MUQOLIDNYA..!!!

Peran Logika/mantiq (ilmu kalam) dalam islam

Manţiq, atau logika, SAMA seperti belajar ilmu-ilmu Islam LAINNYA, MEMPUNYAI FUNGSI tentang dua hal:
1. Cara membuat definisi yang tepat dari konsep.
2. Bagaimana membangun
sebuah bukti PENDAPAT atau argumen, dan mendeteksi kekurangan dalam argumen yang salah.

Tidak ada yang misterius
tentang ILMU ITU. Dengan demikian, logika tak diragukan lagi diperlukan dalam semua ilmu, terutama ILMU Kalaam.
Dalam Kalaam, bukti terkuat adalah penting, sehingga pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip logis diperlukan untuk menilai kekuatan bukti.
Secara umum, pendidikan
modern yang solid, benar-benar mengajarkan logika digunakan untuk di hari tua.
kemudian pendidikan terutama YANG mengandalkan hafalan,
sehingga logika diperlukan untuk mengajar siswa TENTANG bagaimana untuk berpikir.
ZAMAN INI bagaimanapun,
kebanyakan orang YANG berpendidikan akan menyadari PENTINGNYA membuat definisi yang solid, dan bagaimana mendeteksi kekurangan dalam argumen.Untuk memahami KITAB dalam ILMU kalaam dan Uşuulu-l-
Fiqh (cara untuk mendapatkan penilaian Islam dari Al-Qur'an dan
ĥadiitħ), orang harus akrab
dengan terminologi LOGIKA Islam, jadi penting untuk membaca setidaknya satu buku dalam ilmu ini.
Dengan "Logika Islam" Maksudku KITAB tentang logika yang telah dimurnikan dari teologi Yunani dan apa yang berhubungan dengan itu. INGAT bahwa kritik dari beberapa ULAMA terhadap
studi tentang logika,
dimaksudkan untuk logika
YANG dicampur dengan filsafat Yunani.
Lagi pula, tidak ada orang yang waras, mereka akan melarang mempelajari bagaimana membuat definisi atau membangun bukti PENDAPAT.
Satu hal lagi: beberapa orang berpikir bahwa Aristotales menciptakan ILMU logika dan karena
yang menggunakannya ADALAH pengikut-Nya. Ini omong kosong, karena manusia telah menggunakan logika dalam
segala usia, atau setidaknya selama mereka telah berdebat, karena mereka harus mampu
mendeteksi kekurangan dalam argumen dan mendefinisikan konsep-konsep dengan benar.
Semua YANG DI LAKUKAN Aristotales adalah mengkodifikasi prinsip-
prinsip logika sehingga dapat dipelajari secara sistematis.

TANYA-JAWAB

TANYA: saya telah membaca KITAB AL Hafiz Suyuti, ULAMA sufi Syafi'i, al-kalam `an al-mantiq wa Fann al-kalam, YANG mana dalam KITABNYA BELIAU mengutip semua PENDAPAT empat imam (Abu Hanifah Malik Syafi'i dan bin Hanbal) yang mengutuk dan melarang ILMU kalaam kemudian ia mengutip PENDAPAT sufi dan DARI banyak ULAMA, kemudian ia mendefinisikan mantaq, logika dan memberikan preferensi untuk naql vs aql. Saya agak bingung, dengan definisi Anda vs definisi AS SUYUTHI (yang
ia BAWAKAN dari perkataan
puluhan ULAMA )
Silakan komentar jika buku ini otentik atau tidak..!

JAWAB: Apakah anda berusaha meyakinkan saya bahwa belajar bagaimana mendefinisikan dan membangun bukti PENDAPAT, atau mempelajari bukti atas kebenaran agama saya,ITU dilarang??

TANYA: jadi Imam Suyyuti
(Radiy Allahu anhu) tidak menulis HAL TERSEBUT dalam KITABnya? Atau apa yang ia tulis bukan apa yang Anda maksud dengan "Kalaam"? Tapi ilmu ini sangat populer dari ZAMAN DULU, jadi Imam Suyyuti
(Radiy Allahu anhu) pasti sudah tahu apa yang kita tahu dengan definisi "Kalaam"

JAWAB: Bagus. Seharusnya HAL INI tidak menyebabkan keraguan Anda, karena masalah ini sudah jelas,
dan itu TIDAK menjadi masalah TETAPI KITA mencoba mencari jalan keluar TERHADAP PENDAPAT Al-Suyuuţiyy, dan bukan
sebaliknya. As-Suyuuţiyy, meskipun ia hebat dalam mengumpulkan semua bab DALAM semua ilmu pengetahuan, NAMUN tidak ada orang YANG sempurna wawasan dan logikaNYA, SEHINGGA BISA MELIHAT DENGAN tepat.
Singkatnya, saya pikir KITAB BELIAU adalah contoh menggunakan sekop ketika kuas seharusnya menjadi alat pilihan. Yang benar adalah bahwa BAGI mereka yang tidak menguasai ILMU kalaam atau manţiq, KEMUDIAN mencoba untuk menilai ilmu-ilmu, ini akan membuat kesalahan konyol, seperti pencampuran antara penilaian alkitabiah, rasional dan normal, ITU hanya sebagai contoh SAJA. ADAPUN sebagian besar ULAMA YANG Anda Temukan bahwa mereka yang menentang MANTIQ DAN KALAM, ITU Tergantung pada gagasan bahwa studi MANTIQ DAN KALAM membawa beberapa orang KEPADA KEsesatAN. Itu MEMANG benar, tetapi Allah PUN mengatakan MELALUI RASULNYA bahwa beberapa ORANG BISA Sesat dengan membaca Al-Qur'an, ketika mereka salah MEMAHAMINYA, Contoh SEPERTI Khawarij, dan
MutazilAH BEGITU JUGA
anthropomorphists
ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻴﻲ ﺃﻥ ﻳﻀﺮﺏ ﻣﺜﻼ ﻣﺎ ﺑﻌﻮﺿﺔ ﻓﻤﺎ ﻓﻮﻗﻬﺎ ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻓﻴﻌﻠﻤﻮﻥ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺭﺑﻬﻢ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻓﻴﻘﻮﻟﻮﻥ ﻣﺎﺫﺍ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ
ﺑﻬﺬﺍ ﻣﺜﻼ ﻳﻀﻞ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻭﻳﻬﺪﻱ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻭﻣﺎ ﻳﻀﻞ ﺑﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻔﺎﺳﻘﻴﻦ [ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ:26 ]
JADI Jelas, ALASAN INI BUKAN argumen TERHADAP LARANGAN karena tidak haram untuk belajar Al-Qur'an, KARENA ADA manfaat yang sangat besar, dan kebutuhan untuK KESEJAHTERAAN dALAM kehidupan berikutnya.
Demikian juga kalaam dan logika diperlukan untuk melindungi massa dari serangan kalaam dan argumentasi logis yang digunakan oleh Deviant, dan DARI non-Muslim YANG menyesatkan umat Islam. Anda perlu ilmu-ilmu ini untuk melindungi kepercayaan yang benar dari serangan yang
dihadapinya dari intelektual
menyimpang dan ahli retorika KAFIR.
Tentu saja, kadang-kadang, jika seseorang memiliki
kecenderungan menyimpang, DARI pengaruh kalaam YANG sebaliknya YAITU ILMU KALAM KAUM SESAT, MAKA Dia akan TERBAWA oleh argumen yang menyimpang, dan
jatuh KEPADA KEsesatAN, JADI LARANGAN ini bukan karena HAKIKAT ILMU kalaam itu sendiri.
Adapun klaim bahwa salaf tidak MENDALAMI ilmu-ilmu ini. Hal ini tidak sepenuhnya benar, KARENA dalam hal apapun, mereka menggunakan KODE ETIK.
Maksudku, mereka tahu
bagaimana membangun sebuah argumen PENDAPAT, dan mereka membantah dengan bukti-bukti rasional Deviant. Al-Shaafi'iy misalnya, menulis terhadap para filsuf yang berpendapat kenabian itu tidak mungkin. Selain
itu,Abu Ĥaniifah menulis KITAB KITAB dalam ILMU kalaam seperti al-Fiqh Al-Akbar, di mana ia berHUJAH melawan MutazilAH.
JADI"Hati-hati bahwa kritik dari beberapa ULAMA terhadap studi tentang logika YANG dimaksudkan
untuk logika YANG campur dengan filsafat Yunani. Lagi pula, tidak ada orang yang waras mereka akan melarang mempelajari
bagaimana membuat definisi atau membangun KAIDAH PENDAPAT. "

TANYA: Aku ingin tahu jenis logika YANG DI KATAKAN OLEH Hafiz Suyuti dan empat Imaam YANG mengutuk dan
melarang ILMU KALAM, KARENA IMAM Jalal Uddin Rumi (RA) dalam KITABnya yang terkenal YAITU Masnawi, BAHWA DALAM ayat, "Orang pertama yang
menggunakan logika adalah Iblis (setan), merujuk pada penolakan Iblis untuk bersujud di hadapan Adam (AS) karena ia diciptakan
dari tanah liat sementara Iblis itu terbuat dari api yang dianggap unggul DARI tanah liat. "
Atau Apakah mereka (ULAMA) menolak DAN mengutuk SEHINGGA MENGANGGAP "Kalam dan ilmu Mantiq ITU anti-Islam" ADALAH SEPERTI ILMU KALAM yang digunakan oleh Malaikat ??

JAWAB: Argumen ibliis adalah satu ARGUMEN LOGIKA YANG menyesatkan ,karena didasarkan pada premis palsu:
Pertama, ia menganggap api yang lebih baik dari tanah.
Kedua, ia menganggap bahwa apa yang berasal dari yang lebih dari dua UNSUR, tentu lebih baik daripada yang lain.
NAH PREMIS YANG kedua, tidak berdasar. Jadi Ibliis
menggunakan konstruksi
berdasarkan premis LOGIS YANG palsu , atau DI SEBUT analogi palsu.
Seseorang pernah berkata
kepada Imam Abu Hanifah (RA), :"Stop menggunakan Qiyas (analogi reasoning), Setan adalah yang pertama KALI merasionalisasi!",MAKA
Imam Abu Hanifah (rah) berpaling kepadanya dan berkata: "O begitu KAH?? argumen anda tidak rasional karena Setan
dirasionalisasi untuk menolak perintah Allah dan menjadi kafir. TETAPI rasionalisasi saya adalah untuk mengikuti perintah-perintah Allah.
Hal ini karena Qiyas SAYA
didasarkan DAN SEJALAN Quran, Sunnah Nabi, para
Sahabat (rh) dan Tabieen (rh). Jadi, KAMI adalah penganut Quran dan Sunnah, MAKA bagaimana KAMI bisa DIsamaKAN dengan Setan YANG terkutuk?
Orang itu menjawab, "aku salah, aku bertobat kepada Allah.

TANYA: beberapa Wahabi BERKATA:: Islam didasarkan pada naql dari aql Nabi tidak 'non-nabi.
Nabi telah memberitahu kita untuk SOLAT seperti yang kita KETAHUI. Kami SOLAT 5 kali sehari. Mungkin logika ANDA YANG Asy'ari dapat MENYATAKAN SOLAT 3 kali atau 7 kali.
Kami menegaskan SIFAT yang disebutkan dalam Quran dan hadis tanpa menggunakan logika.
Kami hanya mengatakan dan melakukan apa yang Nabi katakan dan lakukan, tidak seperti inovator.

JAWAB:
KATA Wahabi: Islam didasarkan pada naql dari aql Nabi BUKAN 'non-nabi.
KOMENTAR: Hal ini benar, meskipun seseorang tidak bisa PERCAYA KEPADA nabi tanpa menggunakan logika.
Seseorang tidak dapat bahkan TIDAK AKAN tahu seseorang adalah nabi tanpa logika, ARTINYA TIDAK AKAN TAU HAL ITU HANYA dengan Kitab Suci saja. SESEORANG AKAN tahu BAHWA seseorang ITU nabi dengan mukjizat- Nya:
1. Allah ada, karena BUKTI perubahan dunia, DAN SETIAP YANG BERUBAH MEMILIKI PERMULAAN, sehingga DUNIA memiliki awal, DAN PASTI ADA YANG MENciptakan, sehingga LOGIKA MENYATAKAN BAHWA sang pencipta ada.
2. Semua hal mungkin (hal-hal yang bisa memiliki awal),
diciptakan oleh Allah,.
3. Jika SESEORANG MENGklaim kenabian, dan menunjukkan suatu peristiwa luar biasa, dan tidak ada lawan YANG bisa menghentikan PERISTIWA ini atau TIDAK ADA YANG MAMPU meniru itu, maka LOGIKA BERKATA: Dia memiliki PERTOLONGAN Allah dalam
klaim-Nya, karena PERISTIWA ITU tidak
dapat terjadi kecuali Allah YANG menciptakan itu.
4. NABI kita Muhammad
menunjukkan mukjizat.
MAKA KESIMPULAN:
5. Muhammad adalah nabi Allah.

Wahabi: Jika Islam didasarkan pada logika, Nabi telah memberitahu kita
untuk SOLAT seperti yang kita MElihat NABI MELAKUKAN SALAT. Kami SOLAT 5 kali sehari. Mungkin logika Asy'ari ANDA BISA memberitahuKAN untuk SOLAT 3 kali atau 7 kali.
Kami menegaskan SIFAT yang disebutkan dalam Quran dan hadis tanpa menggunakan logika.
Kami hanya mengatakan dan melakukan apa yang Nabi katakan dan lakukan, tidak seperti Anda inovator.
*KOMENTAR: Kami juga hanya mengatakan dan melakukan apa yang NABI KATAKAN DAN lakukan. Contoh SOLAT, dan KETETAPAN waktu untuk SOLAT, ITU tidak dapat dibangun kecuali oleh Alkitab.
ADAPUN PERAN LOGIKA, Para AshariyyAH mengatakan: bahwa karena perintah Allah tidak bisa diketahui tanpa diberitahu perintahnya. MAKA MENGGABUNGKAN "logika" YANG merupakan seni mengetahui bagaimana membuat definisi yang tepat dan membangun sebuah argumen yang sehaT, ITU DI PERLUKAN UNTUK MENGHINDARKAN analogi YANG berdasarkan
premis palsu!!