Jumat, 27 Mei 2011

Dalil bid'ah hasanah bag II

DALIL BIDAH HASANAH II-

(1) Dlm tafsir qurtubi 2/86 dlm penafsiran ayatﺑﺪﻳﻊ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻵﺭﺽ ﻭﺁﺫﺍ ﻗﻀﻲ ﺁﻣﺮﺍ ﻓﺎﻧﻤﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﻟﻪ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ
:Allah albadi' pencipta
langit dan bumi dan bila ia
berkhendak sesuatu,dia hanya mengatakan kpdanya 'jadilah',lalu jadilah ia (QS ALBAQOROH 117) ,dlm
ayat ini terkandung 6 masalah:
1-perkataan allah ﺑﺪﻳﻊ itu utk mubalagoh dan i'rabnya rofa jadi khobar dari mubtada yg mahduf,dan merupakan isim failnya mubdi' sprt lafad bashiir dari mubshir,maknanya ﺑﺪﻳﻊ dan ﻣﺒﺪﻉ adalah mencipta sesuatu tanpa ada contohnya,mk allah
adalah yg mencipta langit dan bumi tanpa ada contohnya, dan stiap yg membuat dgn tdk ada cntoh tesdahulu disebut
mubdi' (ﻣﺒﺪﻉ) dan dinamai dgn bid'ah krna org tersebut meNcipta dgn tdk ada cntoh perbuatan atau ucpan yg terdahulu,seperti kalimah dalam ucapan umar RA ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﺒﺪﻋﻪ ﻫﺬﻩ; sebaik2nya bidah adalah ini
yakni qiyam romadon.
2-setiap bidah yg dilakukan umat manusia mk tdk lepas antara 2 hal:
a.bersumber dari syara,
b.tdk bersumber dari syara
kalau bidah trsbt bersumber dari keumuman
yg di anjurkan allah dan
dianjurkan oleh rasul SAW,mk itu bidah terpuji,wlopun tdk ada contoh sblmnya sperti perbuatan
kebaikan dan sodaqoh YG TDK ADA CONTOH SEBELUMNYA, ini sprti apa
yg di ucapkan oleh Umar
RA:sebaik2nya bid'ah adalah ini- yakni wlopun NABI SAW tdk melakukan taraweh scra rutin dan tidak berjamaah dgn 1 imam
tapi taraweh tsbt pernah
dilakukan NABI SAW..mk prakarsa UMAR RA tsbt adalah bidah yg terpuji.
Dan jika bidah trsbt bertentangan dgn apa yg diperintahkan ALLAH dan dianjurkan RASUL SAW mk hal trsbt masuk pada bidah tercela dan wajib inkar,
Aku Berkata (IMAM qurtubi)
penjelasan tadi adalah makna dari khutbah rasul SAW 'sejelek2nya perkara adalah hal yg diada- adakan,dan stiapa yg diada-adakan (bidah) adalah sesat' maksud setiap bidah sesat
adalah yg tdk selaras dgn kitab atau sunah dan ijma,dan ini dijelaskan pula dlm hadis 'brng siapa membuat amalan dlm islam dgn amalan yg baik,maka baginya pahala dan pahala org2 yg melakukan sesudahnya,dan brng siapa membuat amalan dlm islam
dgn amalan yg jelek,mk bginya dosa dan dosa org yg melakukan sesudahnya dgn tdk mengurangi sdkt pun,ini adalah isyarah bahwa bidah itu ada yg jelek dan ada yg baik (TAFSIR ALQURTUBI 2/86)
NAH JADI BIDAH TERBAGI 2: ADA YG MAHMUDAH DAN MADZMUMAH.

(2) IMAM IBNU HAJAR RA
berkata; bidah asalnya adalah sesuatu hal baru yg tdk ada contoh sebelumnya, dan dikatakan secara syara adalah hal baru yg bertentangan dgn
sunnah,maka diSEBUT BIDAH
MADZMUMAH,DAN HAQIQATNYA ADALAH KALAU BIDAH TERSEBUT MASUK DIBAWAH HAL YG DI ANGGAP
BAIK MENURUT SYARA,MAKA ITU BIDAH HASANAH,DAN JIKA MASUK PADA SESUATU YG DIANGGAP JELEK OLEH SYARA,MAKA ITU BIDAH SAYYIAH, DAN JIKA TIDAK MASUK PADA KEDUANYA MAKA ITU TERMASUK BIDAH YG MUBAH,DAN INTINYA TERBAGI PADA HUKUM FIQH YG LIMA (FaTHUL BARI 6/292)
APAKAH BIDAH DUNIA TDK TERIKAT HUKUM SYARA ???? INGAT IBADAH ADA YG MAHDLOH DAN GOER MAHDLOH

(3)-DLM SYARAH ALMUWATHO
DIKATAKAN:ADAPUN UCAPAN UMAR RA 'INI ADALAH SEBAIK2NYA BID'AH',INI MERUPAKAN PENJELASAN
DARI BELIAU BAHWA BELIAU ADALAH ORANG PERTAMA YG MENGUMPULKAN SOLAT TARAWEH PADA 1 IMAM,DAN
DILAKUKAN SECARA RUTIN DAN TETAP,KARENA SESUNGGUHNYA BIDAH ADALAH SESUATU HAL BARU
YANG SEBELUMNYA TDK PERNAH DILAKUKAN SIAPAPUN,MAKA UMAR RA MEMULAINYA DAN DI IKUTI PARA SAHABAT LAINNYA,INI ADALAH MENYATAKAN SAHNYA UCAPAN BELIAU DAN DIKATAKAN 'SEBAIK2NYA
BIDAH', KARENA DENGAN PRAKARSA TERSEBUT
ADA MASLAHAT (ALMUNTAQO
SYARAH ALMUWATHO 1/264)

(4) IMAM NAWAWI RA BERKATA: ADAPUN HADIS 'WA KULLU BID'ATIN DHOLALAH' INI LAFAD UMUM YANG DI TAKHSIS ADAPUN MAKSUDNYA
ADALAH KEUMUMAN BID'AH.TELAH BERKATA AHLI LUGOT: BIDAH ADALAH SETIAP AMALAN YG TDK ADA CONTOH TERDAHULU,DAN BERKATA
PARA ULAMA:BIDAH TERBAGI KEPADA 5 BAGIAN: WAJIB-SUNAH-HARAM-MAKRUH-MUBAH, CONTOH BIDAH WAJIB ADALAH MENYUSUN DALIL
AKAL YG DILAKUKAN ULAMA
MUTAKALIMIN UNTUK MEMBANTAH TERHADAP KAUM YANG MENYIMPANG DALAM AQIDAH DLL,CONTOH BIDAH SUNAH YAITU MENGARANG
KITAB ILMU,MEMBANGUN
PESANTREN,MADRASAH DLL,CONTOH BIDAH MUBAH ADALAH MEMBUAT ANEKA RAGAM MAKANAN DARI BAHAN YG HALAL DLL, DAN CONTOH
BIDAH YG HARAM DAN MAKRUH DAH JELAS,DAN AKU TELAH
MENJELASKAN MASALAH INI DENGAN DALIL2 YG PANJANG LEBAR DALAM KITAB TAHDZIBUL ASMA WA LUGOT.NAH JIKA DAH TAU APA YG
AKU JELASKAN MAKA DAPAT
DIKETAHUI BAHWA HADIS DIATAS ADALAH HADIS UMUM YG DI TAKHSIS DAN JUGA HADIS2 YG SERUPA DI ATAS.ADAPUN KALIMAH 'KULLU BIDATIN' YG DIKUATKAN DENGAN KATA KULLU,INI
SAMA DGN AYAT TUDAMMIRU KULLA SYAEIN (AL AHQOF 25)..(SYARH SOHEH MUSLIM KARYA IMAM NAWAWI 5/247)

NB:ADA SEBAGIAN ULAMA YG
MENAFIKAN BID'AH HASANAH
SEPERTI IBNU TAEMIYAH ATAU IMAM SYATIBI,IBNU ABDUL WAHAB DAN YANG BELAJAR PADA MEREKA,MAKA KITA TIDAK BOLEH INKAR,KARENA HAQ BELIAU2 ADALAH IJTIHAD DGN KONSEP DAN KAIDAH HUSUS YANG BERBEDA DG ULAMA MUJTAHID LAIN,TETAPI YG TDK MASUK AKAL ADALAH BELIAU2 MENGANGGAP HANYA PENDAPATNYA SAJA YG HAQ
DAN SIAPA YG BERBEDA
DENGANNYA ADALAH SESAT,
DAN YG LEBIH ANEH ADALAH
PARA MUTASIB TERHADAP PENDAPAT MEREKA MENYATAKAN BAHWA TIDAK
LAH MENERIMA BIDAH HASANAH KECUALI AHLI BIDAH DAN HAWANAFSU UNTUK MENYEBARKAN BIDAHNYA',MAKA MEREKA MENYERANG YG BERBEDA DENGANNYA
DENGAN DALIH AMAL MA'RUF NAHI MUNKAR! DAN MEREKA
NENYATAKAN BAHWA PENDAPATNYA ADALAH
SUNNAH. MAKA TINDAKAN MEREKA BUKAN MENOLONG SUNAH,TAPI JUSTRU BIDAH BARU!
KITA TANYA PADA MEREKA JIKA ULAMA2 YANG BERPENDAPAT ADANYA
BIDAH HASANAH DISEBUT AHLUL BIDAH WAL AHWA,TERUS DARI SIAPA KITA MENGAMBIL JALUR AGAMA
INI ???
LEBIH JELAS TENTANG DEFINISI BIDAH YANG BERBEDA ANTARA PARA ULAMA, LIHAT DI ARTIKEL YANG BERJUDUL;
MENGKOMPROMIKAN DEFINISI BID'AH.

Rabu, 25 Mei 2011

Mengabaikan keberadaan majaz dalam memahami Al qur'an

Mengabaikan Keberadaan
Majaz Dalam Memahami Al
Qur’an[1]

Terdapat satu permasalahan,mengabaikan sebagian jenis makna lafadz yang biasa digunakan oleh Bangsa Arab (yaitu makna majaz) dan hanya
mau berpegang kepada sebagian jenis makna yang lain (yaitu makna denotatif/ haqiqoh lughowiyah) dalam memahami Al Qur’an akan menimbulkan dua macam bencana:
1. Mereka terjerumus ke dalam dosa karena tidak memahami Al Qur’an dengan Bahasa Arab,
padahal Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Alasannya karena hanya mau berpegang kepada satu jenis makna yang digunakan oleh orang Arab, seraya enggan menggunakan jenis makna yang lain, sama artinya dengan tidak menggunakan Bahasa Arab dalam memahami Al Qur’an. Yang
demikian itu bertentangan
dengan kenyataan bahwa Al
Qur’an adalah Kitab yang
berbahasa Arab.
2. Mereka terjebak ke dalam kekacauan ketika memahami beberapa ayat Al Qur’an karena tidak mau mengakui sebagian jenis maknanya. Ketika mereka
membaca Firman Allah SWT
Amat besar penyesalanku atas apa yang aku lalaikan dalam pinggang Allah (janbuLlaah). (TQS Az Zumar ayat 56) serta Firman Allah :dan kekallah wajah Tuhanmu (TQS Ar Rahman ayat 27) sementara mereka membatasi diri dalam memahami lafadz janbun (pinggang) dan wajhun (wajah) dengan makna denotatif, maka
pemahaman mereka akan kacau, karenamakna denotatif yang ciptakan oleh Bangsa Arab untuk
lafadz-lafadz tersebut adalah pinggang dan wajah yang telah dikenal. Padahal Allah Maha Suci dari makna hakiki yang dikehendaki oleh Bangsa Arab untuk kedua lafadz tersebut, sebab Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya (TQS Sy Syuro ayat 11). Oleh karena itu, mereka terjatuh dalam kebingungan, kemudian dalam menafsirkannya
mereka berkata jambullaah
adalah pinggang Allah yang tidak seperti pinggang dan
wajhullaah adalah wajah Allah yang tidak seperti wajah.
Penafsiran terhadap lafadz
“janbun” dan “wajhun” yang demikian itu merupakan penafsiran yang tidak mengacu kepada Bahasa Arab. Sebab, mereka tidak menafsirkannya dengan makna hakiki yang
diciptakan oleh Bangsa Arab
untuk lafadz tersebut, mereka juga tidak menafsirkannya dengan makna urfiyah yang dikenal oleh Bangsa Arab untuk
lafadz tersebut, dan mereka juga tidak menafsirkannya dengan majaz atau kinayah yang
biasa digunakan dalam Bahasa Arab. Mereka justru berkata: “pinggang artinya pinggang yang tidak seperti pinggang; dan wajah artinya wajah yang tidak seperti
wajah. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui bahwa lafadz-lafadz dalam ayat tersebut tidak digunakan dengan
makna hakiki sebagaimana yang buat oleh Bangsa Arab. Namun, alih-alih mereka menafsirkannya dengan makna majazi yang biasa
digunakan dalam Bahasa Arab, anda justru melihat bahwa mereka membuat makna baru untuk lafadz-lafadz tersebut yang tidak dikenal dalam Bahasa Arab.
Kata wajah, misalnya,dalam
Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan
“wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,maksudnya adalah dzatnya, secara majaz. Akan tetapi, orang Arab tidak pernah
menggunakan kata wajah dalam arti “wajah, tapi tidak seperti wajah”. Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya seharusnya
ditafsirkan dengan Bahasa Arab.
Seandainya mereka mau
melakukan hal yang demikian itu, serta mau melakukan penelaahan, niscaya mereka akan menjumpai bahwa Bangsa
Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz.
Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya. Atas
dasar itu, makna ayat yaa
hasrotanaa alaa maa
farrothnaa fii janbillaahi (Az
Zumar ayat 56), adalah dalam apa yang ada di antara aku dan Allah, apabila aku lekatkan pengabaianku kepada apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan apa yang menjadi laranganNya
untukku. Di antara yang
menggunakan makna ini adalah hadits Rasulullah saw, kullush shoidi fii janbil faroo, atau jaufil faroo setiap buruan ada di pinggang atau di lambung keledai liar maksudnya, setiap binatang buruan itu terkait dengan keledai liar apabila dikiaskan dan didekatkan dengannya.
Begitu juga dengan juga kata“wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok
seseorang demi memuliakannya.
Maka mereka berkata: jaa’a
wajhul qoumi telah datang
wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya) dan kekallah wajah Tuhanmu (tQS Ar Rahman ayat 27) makna wajah
dalam konteksitu artinya adalah Dzaat Allah Ta’ala[2].
Tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk takwil yang jauh dari makna yang
dikehendaki[3]. Tidak bisa
dikatakan demikian karena orang Arab telah menggunakan makna
tersebut dalam pembicaraan mereka. Dengan demikian, Bahasa Arab tidak menolak makna tersebut, karena suatu
kalimat itu mungkin dimaknai secara hakekat dan bisa jadi pula secara majaz. Terlebih lagi, setiap muslim meyakini bahwa
Allah Ta’aalaa Maha Suci dari
“jambun/pinggang” dan
“wajhun/wajah” menurut
makna hakiki yang dibuat oleh Bangsa Arab. Dengan kata lain, di sini penerapan makna hakiki jelas terhalang, oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah makna majazi yang juga digunakan oleh orang Arab, dan ditafsirkan
dengan penafsiran yang sesuai denganNya, sebab Aqidah Islam memastikan bahwa Allah jalla Jalaaluhu tidak memiliki wajah sesuai hakekat lughowiyah seperti wajah kita, dan Dia juga tidak memiliki pinggang menurut hakekat lughowiyah seperti pinggang kita, sebab Allah Maha Suci dari penyerupaan dan permisalan, Allah berfirman
(artinya) Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya (TQS Asy Syuroo ayat 11), maka dalam
kondisi demikian ada dua
kemungkinan:
1. lafadz itu ditafsirkan dengan Bahasa Arab sehingga yang digunakan adalah makna majaz,
sehingga dikatakan bahwa wajah yang dimaksud adalah permisalan yang merujuk kepada Dzat Allah yang Maha Suci.
2. Atau ditafsirkan dengan tidak menggunakan Bahasa Arab, sehingga kita berkata “wajah yang tidak seperti wajah“, seolah-olah orang yang mengatakan demikian itu malu untuk mengatakan “aku tidak tahu” (sebab wajah yang tidak seperti wajah itu secara bahasa
tidak disebut wajah. Dengan
demikian, ayat ini menjadi tidak punya makna yang dapat dipahami dan diamalkan -pent).

Demikianlah, sesungguhnya
orang yang menyatakan bahwa seluruh lafadz yang digunakan oleh bangsa Arab semuanya bermakna hakiki, atau orang yang menetapkan keberadaan
makna majaz di dalam bahasa namun mengingkari
keberadaannya di dalam Al
Qur’an, sehingga ketika
memaknai Al Qur’an, mereka hanya menggunakan satu jenis
makna seraya mengabaikan jenis makna lain yang ada di dalam Bahasa Arab. Itu semua lebih parah dari pelanggaran mereka terhadap nash Al Qur’an (Al Qur’an) ini Bahasa Arab yang nyata (TQS An Nahl), sementara mereka tidak berpegang kepada
Bahasa Arab dalam memahaminya. Saya
mengatakan lebih parah dari itu, karena mereka telah menyibukkan umat islam dalam permasalahan yang membuat mereka terpecah-pecah, sehingga hampir-hampir setiap
kelompok mengkafirkan
kelompok yang lain sedang
mereka tidak sadar. Seandainya mereka memperhatikan aspek-
aspek penunjukkan bahasa,
niscaya perpecahan itu tidak terjadi sehingga mereka tidak saling bermusuhan dan tetap
menyembah Allah sebagai satu saudara[4].

Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan seorang ahli bahasa nomor satu, Ibnu Jinni, yang berkata: jalan untuk
memecahkan masalah itu adalah bahwa sebagian besar dari bahasa ini berjalan dengan makna majaz, sebagian kecil
darinya keluar menuju makna hakiki, sedangkan kaum yang diajak bicara dengan bahasa itu merupakan manusia yang paling mengenal akan keluasan madzhab-madzhabnya dan arah-
arah penyebarannya,
pembicaraan mereka dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi adat dan kebiasaan
dalambahasa itu, dan mereka memahami maksud perkataan orang yang berbicara kepada
mereka dengan bahasa tersebut berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan mereka dalam menggunakannya. Oleh karena itu, mereka memiliki aqidah yang shohih, amal-amal mereka ikhlash untuk Allah, urusan mereka berjalan secara istiqomah, sementara kondisi mereka dalam keadaan yang baik, mereka itu adalah orang-
orang yang hidup pada masa Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam dan para shohabat ridhwanullah alaihim, di atas jalan yang cerah, yang memiliki malam seterang siangnya, tidak
menyimpang darinya keculai orang yang celaka, tidak menjauhinya kecuali orang yang sesat.

[1] Dikutip dan di indonesiakan dari bagian muqodimah kitab AtTaisiir fii Ushuulit Tafsiir karya
Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [translated by
Bengkel Fikrah, 1 Ramadhan 1431 H]
[2] Menurut saya, dalil
menentukan pemilihan makna majaz ini adalah konteks pembicaraan (siyaqul kalam) ayat ini.Ayat ini bukan ingin menjelaskan perihal anggota badan Allah Maha Suci Allah dari yang demikian-. Pada ayat ke-26
Allah berfirman kullu man
‘alaihaa faahin” segala yang ada di atasnya akan binasa, yakni ayatini bicara soal ketidak-kekalan alam dan seluruh makhluq. Lalu Dia berfirman wa yabqoo wajhu Rabbika sementara wajah Tuhanmu kekal. Konteks pembicaraannya
jelas perbandingan antara Allah dan makhluqnya, alam semesta itu fana dan tidak kekal, sedangkan wajah Tuhanmu itu kekal. Jadi topiknya adalah masalah kekekalan Allah dan kefanaan dunia seisinya. Maka, mustahil wajah dimaknai secara harfiyah. Sebab, yang kekal itu bukan hanya “wajah Allah”, tapi
Allah. Jelas bahwa wajah Allah yang dimaksud di sana adalah Allah itu sendiri. Ini pendapat jumhur.
[3] Ini bukan takwil terhadap sifat Allah, melainkan ta’wil terhadap lafadz Al Qur’an sesuai Bahasa Arab. Sebab, kita sudah menetapkan bahwa tema ayat bukan membahas soal “anggota
badan” Allah, melainkan soal sifat kekekalan Dzat Allah yang dikemas oleh Al Qur’an dengan salah satu uslub yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab.
[4] Adalah kelompok Wahhabi, yang menetapkan bahwa Allah punya dua tangan, telapak kaki,punya pinggang, punya wajah,
punya betis, punya jari-jemari tanpa mau memahami konteks
penggunaan kata-kata itu dalam kalimat, seraya mengatakan bahwa “Allah punya dua mata yang tidak seperti mata” dst,.
Mereka menetapkan masalah ini sebagai prinsip dalam aqidah.
kemudian memusuhi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka, tidak mau duduk satu majelis dengan mereka, dan menyebut mereka semua sebagai ahlul ahwaa wal bida’ (ahli
hawa dan bid’ah), tidak mengikuti sunnah dan salaf, sesat, dan perkataan buruk lain. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukan untuk menjelaskan anggota badan Allah (Maha Suci
Allah dari yang demikian), bahkan kita tidak dibebani untuk membahas masalah Dzat Allah, maka seseorang tidak akan masuk neraka semata-mata karena tidak pernah masuk dalam pembahasan perihal tangan Allah, betis Allah, mata
Allah dan sebagainya.

Minggu, 22 Mei 2011

Jika Allah ada tanpa arah & tempat=tidak ada ???

Jika Allah ada tanpa tanpa
tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan
mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata:
Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat
yang sama saja dengan
menafikan wujud Allah.
Cukup untuk membantah
kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda
berbentuk besar. Dan oleh
karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi- Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama
terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat
madzhab. Dan inilah pula
keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah,
di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru,gerak, diam, berkumpul,berpisah, bertempat ,menempel dengan alam,terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al Jawzi al- Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh di sifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu.

Simak tulisan beliau berikut ini: Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan Nya, kita jawab kesesatan ini: Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima.
Jika mereka berkata: Kalian
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!, kita jawab: Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu
adalah adalah sesuatu yang
dapat dikhayalakan dan
digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran
akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran
adalah buah dari penglihatan dan indra. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman
tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah dapat diterima oleh akal.
Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang
logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka
dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya.
Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka
seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah(Lihat al-
Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut: Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat
menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti
membutuhkan kepada tempat.
Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda.
CONTOHNYA seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa BATU itu pintar juga tidak kita katakan bahwa
BATU itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup.
Dan jika sifat hidup itu tidak ada PADA(batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan dari BATU (lihat al- I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada
tulisan pinggir (hâmisy) kitab al- Zawâjir, j. 2, h. 43-44).
DAN ALLAH BUKAN BENDA MAKA TIDAK SAH DIKATAKAN DI DALAM ALAM ATAU DILUAR ALAM.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:
al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah
Muhammad ibn Jalal pernah
ditanya apakah Allah tidak
dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata:
Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan.
Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang
menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian
bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di
luar alam, sebagaimana ia
tuliskan dalam syarh-nya
terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal
menjawab: Akidah yang kita
nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah
maka itu adalah keyakinan yang benar.
Keyakinan ini didasarkan
kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql.

Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika
Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada:
1 di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian
maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah,
berubah dan lainnya)
2 jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
A) bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut
B) bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut.
Dan bila ALLAH terpisah (DILUAR ALAM) maka hal itu
menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan (TEMPAT DAN RUANG LAGI) dalam keadaan tersebut.
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:
Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun
bersama-Nya. (HR al-Bukhari dan lainnya).
Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi- Nya di atas, di bawah, di samping
kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam
makna dari firman Allah QS. asy- Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah
pendapat yang tidak benar.
Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang
berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh SALAH SATU DARI dua
keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan SALAH SATU DARI dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling
bertentangan. CONTOH
bila dikatakan tembok ini tidak buta juga tidak melihat, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan (TIDAK BUTA DAN TIDAK MELIHAT) tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.

Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah
pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa
kelompok kaum sufi gadungan.
Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam sebagai pernyataan yang rancu
dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak
bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini,namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum
teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya (Lihat ad-Durr al- Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah
seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al- Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi,
demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-Allâmah asy-Syaikh al- Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al- Harari menuliskan: Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka
berkata:”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan
alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami.
Kita katakan kepada mereka: Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan
sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada
karena diciptakan oleh Allah,
seperti dalam berfirman-NyA:Dan Dia Allah yang telah
menciptakan segala kegelapan dan cahaya (QS. al-An’am: 1).
Dengan ayat ini kita wajib
beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya.
Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada
cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak
dapat digambarkan dan
dibayangkan oleh akal maka
terlebih lagi tentang Allah.
Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat,
tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah
tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk,
sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai
makhluk-Nya (Lihat Sharîh al- Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah
bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

DISARIKAN DARI KITAB BANTAHAN MUJASIMAH KARYA SYAIKH ABU HAMID BIN MARJUQI CET MAKTABAH
ALHAQIQAT ISTAMBUL.