Minggu, 22 Mei 2011

Jika Allah ada tanpa arah & tempat=tidak ada ???

Jika Allah ada tanpa tanpa
tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan
mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata:
Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat
yang sama saja dengan
menafikan wujud Allah.
Cukup untuk membantah
kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda
berbentuk besar. Dan oleh
karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi- Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama
terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat
madzhab. Dan inilah pula
keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah,
di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru,gerak, diam, berkumpul,berpisah, bertempat ,menempel dengan alam,terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil
bagi Allah.
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al Jawzi al- Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh di sifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu.

Simak tulisan beliau berikut ini: Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan Nya, kita jawab kesesatan ini: Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima.
Jika mereka berkata: Kalian
memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!, kita jawab: Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu
adalah adalah sesuatu yang
dapat dikhayalakan dan
digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran
akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran
adalah buah dari penglihatan dan indra. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman
tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah dapat diterima oleh akal.
Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang
logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka
dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya.
Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka
seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah(Lihat al-
Bâz al-Asyhab, h. 59).

Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut: Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat
menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti
membutuhkan kepada tempat.
Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda.
CONTOHNYA seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa BATU itu pintar juga tidak kita katakan bahwa
BATU itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup.
Dan jika sifat hidup itu tidak ada PADA(batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan dari BATU (lihat al- I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada
tulisan pinggir (hâmisy) kitab al- Zawâjir, j. 2, h. 43-44).
DAN ALLAH BUKAN BENDA MAKA TIDAK SAH DIKATAKAN DI DALAM ALAM ATAU DILUAR ALAM.

Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut:
al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah
Muhammad ibn Jalal pernah
ditanya apakah Allah tidak
dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata:
Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan.
Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang
menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian
bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di
luar alam, sebagaimana ia
tuliskan dalam syarh-nya
terhadap kitab al-Risâlah.
Kemudian al-Imâm Ibn Jalal
menjawab: Akidah yang kita
nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah
maka itu adalah keyakinan yang benar.
Keyakinan ini didasarkan
kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql.

Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika
Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada:
1 di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian
maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah,
berubah dan lainnya)
2 jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
A) bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut
B) bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut.
Dan bila ALLAH terpisah (DILUAR ALAM) maka hal itu
menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan (TEMPAT DAN RUANG LAGI) dalam keadaan tersebut.
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah:
Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun
bersama-Nya. (HR al-Bukhari dan lainnya).
Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi- Nya di atas, di bawah, di samping
kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam
makna dari firman Allah QS. asy- Syura: 11. Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah
pendapat yang tidak benar.
Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang
berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh SALAH SATU DARI dua
keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan SALAH SATU DARI dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling
bertentangan. CONTOH
bila dikatakan tembok ini tidak buta juga tidak melihat, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan (TIDAK BUTA DAN TIDAK MELIHAT) tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.

Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah
pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa
kelompok kaum sufi gadungan.
Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam sebagai pernyataan yang rancu
dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak
bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini,namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum
teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya (Lihat ad-Durr al- Tsamîn, h. 24-25).

Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah
seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al- Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi,
demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-Allâmah asy-Syaikh al- Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm Min’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al- Harari menuliskan: Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka
berkata:”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan
alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami.
Kita katakan kepada mereka: Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan
sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada
karena diciptakan oleh Allah,
seperti dalam berfirman-NyA:Dan Dia Allah yang telah
menciptakan segala kegelapan dan cahaya (QS. al-An’am: 1).
Dengan ayat ini kita wajib
beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya.
Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada
cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak
dapat digambarkan dan
dibayangkan oleh akal maka
terlebih lagi tentang Allah.
Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat,
tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah
tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk,
sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai
makhluk-Nya (Lihat Sharîh al- Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).

Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah
bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH

DISARIKAN DARI KITAB BANTAHAN MUJASIMAH KARYA SYAIKH ABU HAMID BIN MARJUQI CET MAKTABAH
ALHAQIQAT ISTAMBUL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar