Selasa, 17 Mei 2011

Mengkompromikan perbedaan definisi bid'ah

Bid’ah Terpuji/Tercela; Konsep, Realitas & Ikhtilaf

Perdebatan tentang tema bid’ah apakah ada yang terpuji atau semua tercela, kemudian apa saja yg termasuk bid’ah yang tercela adalah tema pembahasan dan perdebatan lama yang kalau kita kaji dengan teliti, maka akan kita temukan berbagai pendapat yang tidak harus kita pertentangkan, apalagi dijadikan alat untuk memutus tali ukhuwwah sesama muslim.
Tulisan ini saya buat dengan
harapan bisa mempererat tali ukhuwwah sesama muslim apapun organisasinya dan agar
kita bisa menyikapi perbedaan ini sehingga kalaupun berbeda pendapat, maka masih dalam lingkup perbedaan yang syar’iy, bukan perbedaan yg merupakan
penyimpangan dari syari’ah. Dan kalaupun masih ada perbedaan pandangan maka kita bisa bersikap sebagimana para ulama dulu ketika mereka berbeda pandangan, yakni:
pendapat yang kami ambil
adalah pendapat yang benar, walaupun ada juga kemungkinan keliru, sedangkan pendapat selain
pendapat kami adalah keliru
walaupun ada kemungkinan
benar, bukan menyatakan
pendapat selain pendapatnya adalah sesat, tentunya kalau pendapat lain tersebut ada dalil ataupun syubhat dalilnya juga.
1. Hadits Hadits Tentang Bid’ah Sebelum membahas lebih lanjut, berikut beberapa hadits tentang
bid’ah, adapun penomoran hadits disini sesuai dengan software Kutubut Tis’ah (kalau redaksi hadits cukup panjang, saya kutip sebagian saja yang khusus
berkaitan dengan tema ini):
1. Riwayat Muslim no 1435 dari Jabir bin Abdullah:…
… Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat…
2. Riwayat Abu Dawud no 3991 dari Irbadh bin SâriyaH:
…Jauhilah oleh kalian perkara- perkara baru, sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah
bid’ah dan setaip bid’ah adalah sesat…
3. Riwayat An Nasâ’i no 1560 dari Jabir bin Abdullah:
Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru,
setiap hal yang baru adalah
bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka ’…
4. Riwayat Ibnu Majah no 42 dari Irbadh bin Sâriyah:
…dan jangan sampai kalian
mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena
sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat…
Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan redaksi berbeda dari Jabir
bin Abdullah (no 44), dan juga dari Abdullah bin Mas’ud (no 45) dengan redaksi:
…Ingatlah, janganlah kalian
membuat perkara-perkara baru.
Sesungguhnya seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru (diada-adakan), dan setiap hal baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat…
5. Imam Ahmad juga
meriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah (no 13815), dan dari
Irbadh bin Sâriyah (no 16521 dan 16522), dengan redaksi yang kurang lebih sama diatas.
Adapun hadits dari Irbadh bin Sâriyah [point 2 (dan 5)], Al Hafidz al Bazzar menyatakan: hadîts
tsâbit shahÎh, Al Hafidz Ibnu
Abdil Barr menyatakan: hadîts tsâbit, Al Hâkim menyatakan :
ﺻﺤﻴﺢ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻋﻠﺔ (Shahih tidak ada cacatnya)[1].

2. Pendapat Para Ulama
berkaitan dengan Bid’ah
Dari kitab Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, secara umum ada dua pendapat berkaitan dengan
bid’ah, yakni:
1. Ada Bid’ah Baik (Hasanah) Dan Buruk (Dlolalah)
Ini merupakan pendapat[2] Al- Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Shulthonul Ulama Al-’Izz ibn Abdis Salam (wafat 660 H), Imam An-Nawawi (676 H), Al Hafidz As Suyuthi ( w. 1505 M), Abu Syaamah
(wafat 665 H). Dari kalangan
Malikiyah: Al-Qarafi (wafat 684 H) dan Az-Zarqani (wafat 1122 H). Dari kalangan Al-Hanabilah : Al
Hafidz Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) serta dari kalangan Dzahiri : Ibnu Hazm (wafat 456 H).
2. Bid’ah Semuanya Sesaat, baik dalam adat maupun ibadah.
Ini merupakan pendapat [3]At- Thurthusy, Asy-Syathibi (wafat 790 H), Imam Asy-Syumunni (wafat 821 H) dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga Al Hafidz Al-Baihaqi (wafat 458 H), Al Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqallany (wafat 852 H), serta Ibnu Hajar Al- Haitami (wafat 974) dari kalangan
Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al- Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab (wafat 795 H) dan Ibnu Taymiyyah (w. 1328 M). Termasuk pendapat Imam Malik, beliau berkata:
ﻣﻦ ﺍﺑﺘﺪﻉ ﻓﻲ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺑﺪﻋﺔ ﻳﺮﺍﻫﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻓﻘﺪ ﺯﻋﻢ ﺍﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺧﺎﻥ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ،ﻻﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻳﻘﻮﻝ :ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﺗﻤﻤﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﺘﻲ......ﻓﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻼ ﻳﻜﻦ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺩﻳﻨﺎ
Barang siapa mengada-adakan didalam Islam suatu bid’ah yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka ia telah menuduh
Muhamad SAW menghianati
risalah, karena Allah telah
berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridhoi Islam menjadi agamamu. Maka sesuatu yang bukan termasuk ajaran agama pada hari itu (saat hidup Rasul) bukan pula termasuk ajaran
agama pada hari ini. (lihat Abdul Muhsin bin Hammad dalam ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻘﻮﻱ ﺍﻟﻤﺘﻴﻦ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﻭﺗﺘﻤﺔ ﺍﻟﺨﻤﺴﻴﻦ , hal 86, Maktabah Syâmilah)

3. Kenapa Terjadi Perbedaan
Pendapat?
Dari apa yang saya kaji,
sebenarnya perbedaan
pandangan apakah ada bid’ah hasanah atau tidak ada hanyalah perbedaan semu, dimana dua kelompok ulama tersebut
sebenarnya bermaksud sama dalam hal makna, hanya berbeda dalam pengungkapan dan pendefinisian.
Kalangan pertama memaknai bid’ah hanya sebatas makna bahasa saja, yakni:
Bid’ah secara bahasa: berasal dari ba-da-’a asy-syai’ yabda’uhu bad’an wa abtada’ahu: (yang artinya adalah) mengadakan dan
memulai. Dan Al Bid’u : (adalah) sesuatu yang ada pertama kali, dengan makna ini allah berkata:
Katakanlah (wahai
Muhammad)aku bukanlah utusan yang pertama kali (al Ahqaf : 9) [4]
Sedangkan makna hadits (yang baru):
Al hadits (yang baru) itu adalah lawan dari qadiim (yang dahulu), dan huduts: keberadaan sesuatu
setelah sebelumnya tidak ada.[5]
Ini juga diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW (no 2):
……… sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah…
Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:
………dan setiap bid’ah adalah sesat…
Kata Kullu (setiap) dalam kullu bid’ah (setiap bid’ah) adalah dimaksudkan untuk sebagian, yakni bid’ah yang buruk saja (dalam bahasa Arab ada kaidah ithlaaqul kulli wa iraadatul juz’i (yang disebut semua namun yang dimaksud adalah sebagian), kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan majaz totem pro parte (pelajaran SMP dulu).
Misalnya dalam Al Qur’an Allah menyatakan dalam Surah Al Kahfi 79:
Adapun bahtera itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas (tiap-tiap) bahtera.
Kalimat ''merampas (tiap-tiap) bahtera'',maksudnya bukan semua kapal, namun kapal yang baik-baik saja, oleh karena itu dikatakan aku bertujuan merusakkan bahtera itu yakni agar tidak dirampas raja. Jadi kata kullu (setiap) bisa digunakan untuk menyatakan sebagian saja.
Adapun kelompok kedua, yang menyatakan bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Mereka
memahami sabda Rasulullah SAW (no 2):
……… sesungguhnya (setiap) perkara yang baru adalah bid’ah…
Kata (kullu)disini maksudnya
khusus, bukan semuanya,
sehingga mereka menggolongkan pesawat (walaupun di zaman Rasul tidak ada), bangunan
sekolah, komputer, adanya jam belajar tertentu di sekolah dll, yang merupakan perkara baru
namun tidak digolongkan bid’ah.
Kemudian mereka memahami sambungan hadits tsb:
………dan (setiap) bid’ah adalah sesat…
Kata (kullu) disini mereka
maksudkan untuk menyatakan semua, tanpa pengecualian, adapun pengecualiannya di masukkan dalam pengkategorian apakah sesuatu itu bid’ah atau
bukan, yakni mereka
menggunakan kata bid’ah dengan pendefinisian baru, antara lain:
Definisi Imam Asy Syatibi [6] , ada dua definisi bid’ah,yakni:
Sebuah jalan (tariqah) dalam
agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika
melakukannya diniatkan untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT.

Definisi ini mengkhususkan
bahwa bid’ah adalah khusus dalam ibadah, bukan adat.
Definisi kedua dari Asy Syatibi:
Sebuah jalan (tariqah) dalam
agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat (disamakan) dengan syari’ah, dan ketika
melakukannya diniatkan
sebagaimana apa yang dimaksud oleh jalan (thoriqah) syar’iyyah.

Definisi yang kedua ini
memasukkan adat kedalam
bid’ah jika diserupakan dengan thariqah (jalan) syari’at.
Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul Ulum Wal Hikam menyatakan:
Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa apa yang diadakan yang tidak ada pokok (asal/ dasar) nya dalam syari’ah yang
menunjukkan atasnya, adapun jika ada asal/pokok /dasar dari syari’ah maka itu bukan termasuk bid’ah secara syar’i, walaupun itu bid’ah secara bahasa.

Oleh karena itu, sebenarnya
perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan dalam tema pembahasan (domain) bid’ah itu, kalangan pertama yang menyatakan ada bid’ah baik dan buruk, domainnya adalah semua
hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah, sedangkan yang menyatakan semua bid’ah adalah sesat, domainnya mereka sempitkan pada yg baru dalam tema agama, yang baru tadi dianggap bagian dari syari’ah, dan
dimaksudkan sebagaimana yang dimaksudkan syari’ah.

4. Kenapa Masih dipertentangkan?
Seandainya saja mereka sepakat tentang domain pembahasan bid’ah, tentu tidak perlu ada perbedaan yang berarti, dan sekiranya mereka mau memahami makna yang dimaksud oleh masing masing pihak, niscaya mereka tidak akan
saling berselisih, (bahkan di Bogor pernah ada dua radio FM berbantah-bantahan berulang ulang tentang hal ini), seperti ungkapan berikut:
Orang yang membagi bid’ah
menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW :“Artinya :
Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat. Karena Rasulullah SAW telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ;
dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Kemudian yang satunya
menjawab: orang yang
menyatakan setiap bid’ah adalah sesat, namun menyatakan bahwa
belajar nahwu, sharaf,
membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah SAW : Artinya :
Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah. Rasulullah SAW telah menghukumi bahwa semua
yang baru sebagai bid’ah; dan orang ini (yang menyatakan bahwa belajar nahwu, sharaf, membangun madrasah, naik mobil dll bukanlah bid’ah)
mengatakan tidak semua yang baru sebagai bid’ah, tapi yang baru dg syarat- syarat tertentu.
kalau mau konsisten,
seharusnya membuat syarat-syarat tertentu yg tidak dijelaskan Rasulullah itu juga bid’ah!
Maasya Allah, kasihan umat kalau para da’i nya seperti ini, padahal yang berbeda pendapat itu para ulama besar yang sudah dikenal
luas oleh umat Islam sedunia, dan mereka tidak saling mencela seperti ini.

5. Bagaimana Menyikapinya
Seharusnya umat, apalagi da’i, ustadz, kyai, bisa memberi contoh bagaimana seharusnya berbeda pendapat, dan mencerdaskan umat bahwa
perbedaan tersebut hanya
terjadi dalam perbedaan pengungkapan, bukan makna yang dikandung
walaupun dalam detil masalahnya memang kadang terjadi perbedaan.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany (wafat 852 H), walaupun beliau menyatakan semua bid’ah
adalah sesat, tentunya
bid’ah yang beliau maksud
adalah bid’ah dengan maksud khusus, beliau dalam kitabnya, Fathul Bâry, masih mengakomodir pendapat pendapat yang berbeda dengan pendapatnya, beliau tidak
menyalahkannya, apalagi
menyatakan sebagai sesat,
beliau hanya menjelaskan bahwa pendapat yang berbeda tersebut adalah bid’ah dalam domain makna bahasa, dan beliau tidak
memaksakan pendapatnya
untuk mengikuti definisi bid’ah sebagaimana yang didefinisikan oleh kelompok kedua.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany menulis[7]:
Asy Syafi’i berkata: Bid’ah itu ada dua: yang terpuji dan tercela,yang sesuai sunnah maka ia terpuji, yang menyelisihi sunnah
maka ia tercela dikeluarkan
Abu Nu’aim dg maknanya dari jalan Ibrahim bin Junaid dari Asy syafi’i, dan dari Asy Syafi’i juga yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam manaqibnya berkata: al muhdatsaat (yang diada adakan) itu ada dua bagian, yang bertentangan dengan kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma’ maka ini adalah bid’ah yang sesat,
dan apa yang diadakan berupa kebaikan tidak bertentangan dengan sesuatupun dari yang
demikian (kitab, atau sunnah, atau atsar atau ijma), maka ini adalah muhdatsat yang tidak
tercela ,
Dibagian lain Al Hafidz Ibnu HajaR mengutip Al Izzu bin Abdissalaam:
Dan telah berkata Ibnu
Abdissalaam dalam akhir kitab al qawa’id, Bid’ah itu ada lima bagian, yang wajib; seperti belajar ilmu nahwu untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya,
karena menjaga syari’ah itu
wajib, dan tidak bisa terlaksana kecuali dengan nya (nahwu) maka itu menjadi pembuka yang
wajib…, yang haram; (pemikiran) apa yang ditetapkan oleh yang
menyelisihi sunnah, dari kalangan Qadariyah, Murjiah dan Musyabbihat (yg menyerupakan Allah dengan makhluq), yang mandub /sunnah; setiap kebaikan
yang tidak dilakukan pada masa nabi, seperti tarawih berjama’ah, membangun madrasah, rubath, perkataan dalam hal tasawwuf yang terpuji, mengadakan majelis
diskusi/ceramah jika yang
dikehendaki adalah ridlo Allah, yang mubah/boleh; seperti bersalaman setelah sholat subuh dan ashar, mencukupi diri dg yg
lezat2 berupa makanan,
minuman, pakaian dan rumah, dan sebagiannya makruh atau khilafulaula (menyelisihi yng utama) Wallahu A’lam

6. Yang Saya Fahami
Karena domainnya berbeda,
maka tidak bisa dicampurkan dalam satu pembahasan, bisa kacau.
Seperti ilustrasi yang pernah saya buat:
Suatu ketika ada 3 orang pelajar berselisih tentang Matematika, si A berpendapat bahwa 1 + 2 = 11 namun si B menyalahkannya kata si B yang benar itu 1 + 2 = 10 dan si C menyatakan A dan B tidak mengerti Matematika karena
yang benar menurutnya 1 + 2 = 3.
Perdebatan panjangpun terjadi, masing masing mengemukakan pendapatnya dan menyalahkan yang lainnya, namun mereka lupa
menanyakan tema pembahasan mereka masing masing, sampai akhirnya ada seseorang
yang berusaha melerai, dan
barulah mereka sadar bahwa si A mengerjakan hitungan yang hasilnya dinyatakan dalam basis
2, si B menyatakan hasilnya
dalam basis 3, dan si C
menyatakan hasilnya dalam
basis 10. Dan ketiganya, dalam konsep matematika, ternyata benar dalam pengerjaan tersebut sesuai dengan basis bilangan yang
mereka maksud.
Kalau kita berada pada domain pendapat pertama sebenarnya sudah selesai masalahnya, artinya semua hal yang baru yg baru pasti bisa baik atau buruk maka harus dicari status hukum
syari’ahnya, kalau sesuai berarti bid’ah hasanah (menurut kelompok ke dua berarti bukan bid’ah), kalau bertentangan berarti bid’ah madzmumah (tercela).
Kalau kita kita berada pada
domain pendapat kedua, bahwa semua bid’ah adalah sesat, maka yang saya fahami (dari literatur lain, agar lebih mudah dicerna),bid’ah [8] adalah:
ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ
Perbuatan yang menyelisihi apa- apa yang dibawa oleh syara’[9]
Yang dimaksud dengan apa yang dibawa oleh syara adalah yang ada dalilnya baik umum atau khusus. Apa saja yang tercakup
dalam dalil umum ini maka tidak disebut bid’ah seperti belajar kimia, biologi, dll walaupun tidak ada pada masa Rasul namun tercakup dalam dalil tentang menuntut ilmu. Oleh karena itu tidak setiap yang tidak ada pada masa Rasul dikatakan bid’ah.
Hanya perbuatan yang Allah telah menentukan secara khusus kayfiyat nya maka melakukan perbuatan tersebut dg membuat
kayfiyat sendiri adalah bid’ah.
Solat misalnya, jumlah
raka’atnya sudah ditentukan, waktunya
telah dibatasi, arahnya sudah ditentukan, cara dan syarat- syaratnya telah baku, wudlu’, berdiri, angkat tangan, niat, ruku’, sujud, duduk dan seterusnya. Maka solat tergolong
ibadah yang kayfiyatnya sudah dibatasi dan dijelaskan, maka melakukannya dengan cara yang bebas dari ketetapan-
ketatapannya, misalnya : solat di luar waktunya, membelakangi kiblat, sujud sebelum ruku’ dan seterusnya, maka dia telah
berbuat bid’ah. Mengangkat
kedua tangan saat takbir dalam shalat telah Allah atur dengan kayfiyat tertentu yang hukumnya sunnah, tidak melakukannya berarti tidak
berdosa, namun mengangkat tangan saat sholat dengan membuat kayfiyat sendiri (misalnya dengan mengepalkan
jari dan mengangkat satu tangan saja seperti takbir saat masiroh) maka ini bid’ah.
Azan telah disyari’atkan dengan lafadz tertentu, maka azan dengan lafadz yang lain, atau menambah, atau mengganti dg lafadz yang lain, atau mengganti
hurufnya, atau panjang
pendeknya, semuanya
terkategori bid’ah, misalnya kata shalat dalam azan, walaupun shalat adalah amal yang baik,
tidak boleh diganti dengan
khairul amal sehingga hayya
alash shalat menjadi ﺣﻲ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻌﻤﻞ. Adapun lagu/nada azan, karena Allah tidak menentukan
kayfiyat tertentu tentang
lagunya, maka tidaklah
terkategori bid’ah.
Adapun perintah tentang dzikir dan berdo’a telah disepakati kemutlakannya oleh semua ulama’, boleh berdiri, boleh duduk, boleh berbaring dan seterusnya,
intinya, syari’ tidak pernah
membatas-batasinya dengan menentukan metode khusus sebagaimana halnya solat, haji dan ibadah-ibadah muqayyad (yang telah dibatasi kayfiyatnya)
lainnya.
Kalau dalam shalat dan haji
Rasulullah bersabda:
ﺻﻠﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻧﻰ ﺃﺻﻠﻰ
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR. Bukhory)
ْﻢُﻜَﻜِﺳﺎَﻨَﻣﺧﺬﻭﺍ ﻋﻨﻲ
Ambillah dariku manasik haji
kalian (HR Muslim)
Sedangkan dalam dzikir tidaklah demikian, tidak ada kayfiyyat daN batasan khusus yg digariskan
Allah berkaitan dengan do’a dan dzikir, maka tidaklah dikatakan bid’ah kalau imam berdo’a dengan suara yg terdengar jama’ah, dengan bahasa arab atau non arab, atau bersalaman sambil berdo’a taqabbalallahu…. Ibadah zikir adalah ibadah mutlak yang tidak boleh dibatas-batasi oleh seseorang, baik membatasinya dengan cara tertentu misalnya harus bergerak-gerak, harus
berjama’ah, harus ini, harus itu dll, atau membatasinya dengan larangan tertentu, misalnya tidak boleh bergerak-gerak, tidak
boleh bersama orang lain, tidak boleh dihitung, dll. Keduanya (membatasi dengan membuat kayfiyat khusus yang harus begitu atau larangan tertentu
tanpa dasar syara’) sama sama dilarang. Jadi karena kemutlakan zikir itu maka boleh-boleh saja dilakukan secara sendiri ataupun
bersama orang lain, di masjid ataupun di rumah, bergerak ataupun diam seperti patung, berdiri, duduk ataupun berbaring,
dihitung atau tidak, dan
seterusnya.
Sama juga seperti membaca Al Qur’an, Allah tidak menentukan nada tertentu untuk membaca Al
Qur’an, ia boleh membacanya dengan nada seperti suda’is, ghomidy, mu’ammar, dll dan tidak
terkategori bid’ah membaca dengan nada/ gaya tersebut, adapun melarang orang untuk
mengikuti nada tertentu dalam membaca Al Qur’an, dengan alasan nada tersebut tidak ada pada masa Rasul, maka justru
larangan seperti ini yang dilarang, karena ketiadaan sesuatu bukan dalil untuk menyatakan adanya sesuatu. Sama seperti sedekah misalnya, boleh dengan uang, boleh dengan mobil, boleh dengan komputer, dengan pesawat, dll, maka tidak boleh dibatas-batasi
dengan mengatakan : sedekah itu hanya sah dengan uang saja dan
tidak sah dengan komputer
karena nabi tidak mencontohkan yang demikian.
Berkaitan dengan ini, dalam
kitabul manasik dikatakan:
ﻟﻨﺎ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻥ ﻧﻄﻠﻖ ﻣﺎ ﻗﻴﺪﻩ ﺍﻟﻠﻪ
ﻟﻴﺲ،
ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻥ ﻧﻘﻴﺪ
ﻣﺎ ﺃﻃﻠﻘﻪ ﺍﻟﻠﻪ
Kita tidak punya hak untuk
memperluas(memutlakkan) apa yang sudah dibatasi oleh Allah, maka kita juga tidak punya hak untuk membatas-batasi yang
telah diperluas (mutlakkan) oleh Allah[10].

7. Penutup
Sebenarnya, ada PR bagi kedua belah pihak, dan bagi umat Islam secara umum:
Bagi pihak yang mengatakan bid’ah ada yg baik dan buruk, ketika ada sesuatu yang baru, maka wajib bagi mereka untuk
mengkaji apakah yang baru
tersebut baik (wajib, sunnah, mubah, makruh) atau buruk (haram)
Bagi pihak yang menyatakan semua bid’ah sesat, dan tidak semua yang baru adalah bid’ah,
maka wajib bagi mereka ketika ada sesuatu yang baru untuk mengkajinya apakah yang baru tersebut bid’ah (sehingga sesat/
haram) atau bukan bid’ah, kalau bukan bid’ah lalu apa status hukumnya (wajib, sunnah, mubah atau makruh?).

Jadi dari pada berpolemik
sesuatu yang baru ini bid’ah atau bukan, lebih baik mengkaji bagaimana status hukum sesuatu yang baru ini, wajib, sunnah, mubah, makruh ataukah haram. Allahu Ta’ala A’lam.
[1] Lihat Irwa’ul Ghalil, 8/107
[2] ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﻟﻠﻌﺰ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ
ﺍﻟﺴﻼﻡ 2 / 172 ﻁ ﺍﻻﺳﺘﻘﺎﻣﺔ،
ﻭﺍﻟﺤﺎﻭﻱ ﻟﻠﺴﻴﻮﻃﻲ 1/539 ﻁ
ﻣﺤﻴﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ،ﻭﺗﻬﺬﻳﺐ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﻠﻐﺎﺕ ﻟﻠﻨﻮﻭﻱ 1/22 ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ، ﻭﺗﻠﺒﻴﺲ ﺇﺑﻠﻴﺲ
ﻻﺑﻦ ﺍﻟﺠﻮﺯﻱ ﺹ16 ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ، ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ 1/376 ﻁ ﺑﻮﻻﻕ، ﻋﻠﻰ ﺇﻧﻜﺎﺭ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻭﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﺍﻟﺒﺎﻋﺚ
ﻷﺑﻲ ﺷﺎﻣﺔ 1315 ﻁ ﺍﻟﻤﻄﺒﻌﺔ
ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ.
(2)ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ 2/172، ﻭﺍﻟﻔﺮﻭﻕ 4/219.
[3]ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ﻟﻠﺸﺎﻃﺒﻲ1/ /18 ،19 ﻁ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭﻳﺔ،ﻭﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻲ ﺹ114ﻁ ﺩﺍﺭ
ﺍﻟﻌﻬﺪ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪ،ﻭﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﺍﻟﺒﺪﻉ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻟﻄﺮﻃﻮﺷﻲ ﺹ 8 ﻁ ﺗﻮﻧﺲ، ﻭﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ ﻻﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺹ 228،278 ﻁ ﺍﻟﻤﺤﻤﺪﻳﺔ،
ﻭﺟﺎﻣﻊ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﺍﻟﺤﻜﻢ ﺹ160 ﻁ ﺍﻟﻬﻨﺪ،ﻭﺟﻮﺍﻫﺮ ﺍﻹﻛﻠﻴﻞ 1/ 112 ﻁ ﺷﻘﺮﻭﻥ،ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ 25/
37 ﻁ ﺍﻟﻤﻨﻴﺮﻳﺔ،ﻭﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ 5/ 156 ﻁ ﺍﻟﺤﻠﺒﻲ.
[4 ] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah
[5] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab bid’ah
[6] ﺍﻻﻋﺘﺼﺎﻡ ﻟﻠﺸﺎﻃﺒﻲ1/ /19 ﻁ ﺍﻟﺘﺠﺎﺭﻳﺔ
[7 ] Fathul Bâry, Juz 20 hal 330 dst, Maktabah Syamilah
[8] Saya kasih tanda petik untuk membedakan bahwa bid’ah disini adalah yang semuanya sesat.
[9] Dari Dirosah Fiqhiyyah
(kumpulan soal jawab)
[10] ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻤﻨﺎﺳﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﺡ
ﺍﻟﻤﻤﺘﻊ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar